CORONG


Beruntung ketika remaja saya sempat ikut-ikutan bermain seni teater. Berkat latihan teater, meski amatiran, saya mendapatkan keterampilan mahal yaitu dapat berbicara di depan publik dengan lumayan lancar. 

Bila mendadak disuruh memberikan sambutan atau saran dalam sebuah forum maka yang segera terbayang dalam benak adalah saya akan melakonkan drama pendek dengan mengandalkan spontanitas dan improvisasi. Sejauh ini, kiat itu membawa hasil baik. Setidaknya sikap gugup, gagap azis, dan salah tingkah seperti lazimnya orang didaulat tampil, dapat saya atasi. Walau sekali tempo tetap ada grogi kecil atau tahu-tahu butiran keringat dingin mruntus di dahi.

Buku Tentang Bermain Drama karya WS Rendra, yang menjadi kitab pegangan wajib kami dulu, mengajarkan sebuah teknik yang disebut teknik muncul. Ini sebuah jurus yang amat bermanfaat untuk public speaking. Teknik muncul adalah panduan bagaimana seharusnya aktor/aktris muncul pada kali pertama di panggung. 

Menurut dramawan Rendra, seorang aktor tidak boleh langsung nyelonong muncul ke panggung begitu saja. Setelah beberapa  langkah muncul di panggung sang aktor hendaklah jedah sejenak, memberi kesempatan penonton bersiap menerima kehadirannya sebagai salah satu tokoh baru dalam jalinan cerita yang sedang berjalan. 

Bahkan untuk adegan maling yang dikejar-kejar polisi sekalipun, sang maling boleh saja muncul ke pentas sambil lari tergopoh-gopoh. Tetapi tetap ada tempo dia harus berhenti beberapa detik. Aktor menoleh ke kiri dan ke kanan seolah mencari tempat persembunyian, sekaligus memberi kesempatan penonton menikmati kehadirannya sebagai maling, kemudian bolehlah dia blingsatan lagi dan melesat keluar panggung.

Demikianlah  saya pungut pelajaran darinya. Saat tampil di depan umum, seyogyanya kita tidak tergesa-gesa langsung bicara dengan cepat lalu balik kucing kembali ke tempat duduk. Harus ada hening sesaat, ketika audience sudah siap mendengar, baru kita memulai salam atau pembicaraan. 

Saya dengar, lembaga pengembang kepribadian seperti JRP,  juga mengajarkan teknik-teknik semacam ini kepada seorang (calon) public figur yang hendak tampil menyapa khalayak. Mereka seyogyanya tidak boleh langsung beranjak  dari tempat duduk lalu ngeloyor ke podium. Semua ada tekniknya biar dia terlihat elegan dan anggun. Berdirilah sejenak, rapikan celana atau busana, tersenyumlah tipis kepada orang di sebelah kiri kanan, baru kita layak melangkah menuju ke arah mikrofon. Ini merupakan bagian dari jurus membangun personal branding.

Seorang ustad muda, Abdul Malik dari Pandaan Pasuruan, malah mengajari saya sebuah kiat. Beliau sengaja mengecilkan modulasi suaranya setiap mengawali sebuah tauziah. Supaya apa? Supaya pendengar turut meredakan situasi dan lebih mau pasang telinga. Bila jamaah sudah mulai kondusif, secara bertahap dia menambah volume suaranya bahkan sesekali diselingi nada tinggi. Tidak lupa dikembangkan permainan tempo cepat-lambat nada suara beserta humor-humor segar sehingga pendengarnya tertawa dan kerasan di tempat duduknya.

Dalam bahasa teater, yang dilakukan Ustad Malik secara alami itu dinamakan teknik bina klimaks. Seorang aktor yang tengah memerankan sosok pemarah tidak boleh sejak awal hingga akhir babak marah-marah melulu dengan tempo tinggi. Itu bikin capek penonton. Kemarahan haruslah dibuat meningkat secara berjenjang. Pada babak awal mungkin kemarahan hanya ditampakkan lewat larangan ringan dengan menggelengkan kepala. Kemudian ditingkatkan lagi dengan bentakan suara dan nanti pada babak klimaksnya diekspresikan dengan mengebrak meja atau menghajar lawan mainnya. Bina klimaks juga bisa diwujudkan dalam wujud posisi tubuh. Kemarahan diawali dengan posisi duduk, kemudian tangan menuding-nuding, dilanjutkan dengan berdiri, dan akhirnya aktor bergerak mendekati obyek yang menjadi sasaran kemarahan.

Oleh karena itu seorang narasumber di ruang seminar atau forum pelatihan --termasuk guru-- tidak selayaknya berceramah sambil duduk terus-menerus sepanjang presentasi. Dia perlu berdiri bahkan sesekali bergerak ke sana ke sini demi mengakrabkan diri dengan peserta, demi menguasai “panggung”, dan demi mencapai efektivitas materi yang disampaikan.

Namun kadangkala ada juga kondisi sebaliknya. Karena dibakar semangat menggebu, seorang pembicara berpidato meledak-ledak sejak menit awal hingga akhir. Ini tentu sangat mengganggu terutama bagi kuping yang tidak suka dengan hadirnya tanda seru pada setiap akhir kalimat. “Ini presentasi atau marah-marah?” begitu protes batin mereka. Kiranya teori bina klimaks dari dunia teater bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan praktis pada saat kita berbicara di depan publik.

Tetapi, sebagaimana pesan Mas Willy (WS Rendra), sesungguhnya teknik itu dipelajari untuk dilupakan. Artinya, segala macam teknik tidak boleh sekadar dipelajari dan ditirukan tetapi haruslah dihayati. Bahkan lebih jauh semua teknik hendaknya dikunyah, ditelan, dan diinternalisasi hingga menjadi otomatisasi unik dan menjadi refleks diri yang spontan. Saat berlaga, seorang pendekar silat tentu sudah tidak ribut memikirkan jurus dan urutan langkah apa yang sebaiknya dijalankan. Dia bergerak gesit dan efektif. Lupalah semua teknik, tahu-tahu lawan sudah terkapar di depannya.  

Saya sendiri tidak tahu secara persis sejak kapan berani bicara di depan umum. Sebab dulunya saya tergolong anak pemalu dan sedikit introvelt. Sekarang agak beda. Saya malah sering malu-maluin jika sudah nggedabrus ngomong di depan corong. Gampang lupa diri, umuk, dan lupa waktu..he…he…he…..sori.  (adrionomatabaru.blogspot.com) Sumber gambar: prnewsonline.com.
Sampai jumpa dengan tulisan lain, setiap Senin dan Kamis, di alamat yang sama. InsyaAllah.
Previous
Next Post »