MENJADI JAHAT DI BULAN SUCI




Eskalasi kejahatan selalu meningkat menjelang hari raya. Tidak jelas, ini ironi apa tradisi?  Juga tidak jelas lagi: apakah masih ada yang peduli, toh sudah ada polisi?

Dua pemuda Pandaan babak belur dihajar massa gara-gara menjambret kalung nenek Jl. Gubernur Suryo, Probolinggo, begitu tulis Radar Bromo tadi pagi. Kepada polisi, pelaku mengaku terpaksa bertindak jahat untuk persiapan lebaran. Nah, siapa mau tengok berita “remeh” kayak gini? Tapi benarkah itu berita “sak kolom” yang tak layak diperbincangkan? 

Bulan puasa dan Hari Raya disambut dengan riang gembira oleh banyak orang. Warga muslim bergembira karena menyadari amal ibadah bakal berlipat ganda pahalanya. Pengusaha senang karena dapat mengeruk untung gede, karyawan menanti THR dan gaji 13, artis panen job program Islami, dan dai selebritis tertawa karena kebanjiran order ceramah di mana-mana.

Tapi gembira dan gembira itu ada banyak jenis dan gradasinya. Ada gembira berbunga-bunga, ada gembira sekadarnya, ada gembira partisipatif, bahkan ada juga gembira manipulatif alias pura-pura gembira. Di antara sekian orang yang bergembira di bulan puasa, selalu ada sekelompok orang yang tidak bisa tersenyum dengan lebar di hari-hari penuh berkah ini.

Mereka adalah kaum marginal yang terus bekutat dengan kerasnya hidup. Para sopir yang selalu berlari kencang mengejar setoran. Pekerja setengah penganggur yang nongkrong gelisah nunggu orderan. Wanita penghibur yang dipaksa libur sebulan penuh, hingga buruh proyek bangunan yang gosong dipanggang cuaca. Sementara setiap menjelang berbuka, di depan teve, mereka dikhotbahi bahwa hidup demikian indah asal dilakoni dengan kerja keras dan hati ikhlas.

Kemudian televisi saban hari menayangkan tingginya harga daging sapi serta gencarnya merazia pedagang kaki lima dan pengamen jalanan demi ketertiban kota di bulan Ramadhan. Bu Saeni  berurai airmata karena dagangan wartegnya diobrak satpol PP Banten. Masih untung kemudian netizen mengunggah deritanya ke medsos dan menjadi viral. Simpati bermunculan. Untungnya lagi yang datang bukan sekadar doa tulus dan belas kasihan, tapi transferan dana patungan ratusan jutaan rupiah.

Ya, kini bulan puasa dan hari Raya bukan lagi peristiwa ritual agama semata. Dia telah mekar dan bermetamorfosis dalam banyak wajah. Celakanya, wajah kulturalnya tampil lebih menonjol dibanding wajah spiritualitasnya. 

Puasa dan Lebaran telah berubah menjadi life style, komoditas, kuliner, hijab, dan gemerlap. Salah satu hikmah  berpuasa semestinya adalah membangkitkan empati, merasakan haus-lapar kaum papa. Tapi bagaimana derita itu terasa, jika kita puasa di ruang ber-AC dan selalu menyantap buka dan sahur dengan variasi menu bagai dalam pesta?  

Inilah jadinya jika agama telah bergeser menjadi budaya. Semua jadi dangkal dan berbiaya. Berpuasa sungguh tidak butuh uang. Justru mestinya dapat memangkas dana konsumsi lantaran seharian tidak beli makan minum dan rokok sama sekali. Tetapi realitasnya justru terbalik, pengeluaran rumah tangga sepanjang puasa pasti membengkak.  Apalagi jika harus bikin acara buka bersama. Saling bermaaf-maafan jelas mulia dan gratis. Tetapi menggelar acara halal bi halal jelas membutuhkan terop, kursi, mubaligh, doorprize, dan ujung-ujungnya adalah anggaran.

Gak Nggoreng Kopi

Banyak orang bilang, hari raya adalah hari kemenangan. Jadi mengapa mesti dirisaukan? Secara terang-terangan tentu tidak ada orang yang merisaukannya. Tetapi toh keluhan pedagang asongan di terminal masih saja terdengar, “Sak iki sepi, Mas. Riyaya sida gak nggoreng kopi iki.” Kalimat riyaya gak nggoreng kopi  (hari raya tidak menggoreng kopi)  adalah sebuah ungkapan  satir-komedik dari kaum pinggiran yang sudah terbiasa dengan ketidakpastian nasib.

Agar hari Raya bisa “goreng kopi”, agar punya kue yang layak disuguhkan tamu,  agar punya uang receh untuk dibagikan keponakan dan cucu, agar punya duwit untuk mudik, maka segala daya dikerahkan. Masih untung jika daya dan upaya itu dilakukan di atas jalan yang benar.  Sayangnya, jalan yang baik dan benar tidak selalu terbuka lebar bagi semua warga negara. Sebagaimana jalan tol yang mulus tidak boleh diakses oleh gerobak, ojek, becak, dan sepeda pancal. 

Maka sebagian dari mereka jadi gelap mata. Eskalasi kejahatanpun meningkat. Semakin mendekati hari H akan semakin nekad saja penjahatnya. Kiranya Lebaran telah menjadi momentum klimaks yang wajib dirayakan siapa saja. Dengan cara apa saja. Seorang bapak bisa saja tidak risau menjumpai dirinya tidak berpuasa dan tidak membayar zakat. Tetapi hatinya bakal galau jika sampai anak-anaknya tidak bisa mengenakan pakaian yang pantas dan uang saku guna merayakan hari Raya.

Mengapa orang bisa menjadi jahat di saat menghadapi bulan suci, mungkin pakar psikologi sosial yang bisa menjelaskan dengan baik. Yang pasti, seperti contoh tadi, dua pemuda Pandaan telah menjambret demi untuk membeli baju baru. Bahkan ada oknum tentara berpangkat tinggi  nekat mengedarkan uang palsu. Maka waspadalah, jangan sampai motor dan mobil Anda diincar begal. Rumah-rumah kosong yang ditinggal mudik jelas tidak bebas dari satronan maling.  

Menghadapi kondisi demikian tidak bisa diselesaikan dengan imbauan, bahwa merayakan hari raya seyogyanya yang sederhana saja. Bukan pula dengan membenarkan tindakan kejahatan atas nama keterpaksaan dan kemiskinan.  Perlu ada upaya serius untuk mengembalikan kesadaran bahwa puasa dan hari Raya adalah peristiwa agama semata. Tantangan beratnya ada dua. Pertama, menghadapi cara pikir kapitalistik yang memandang puasa dan lebaran sebagai momen superbesar yang wajib dibisniskan. Kedua, menghadapi pola pikir hedonistik yang menyikapi ibadah sekadar tren gaya hidup semata. (Adriono)

sumber gambar: okezone.com
Previous
Next Post »