SENJAKALA KETUPAT LEPET



Apa arti ketupat bagi bangsa yang mengidap penyakit “minder kolektif” seperti kita saat ini? Mungkin jawabnya ini: ah itu cuman makanan rakyat kelas kaki lima. Kuliner jadul orang desa menyambut Lebaran tiba. Bahkan bisa dituding sebagai tradisi yang tak ada tuntunan syar’i-nya. 

Apa makna kue lepet bagi generasi yang tidak doyan lagi dengan semua produk bangsa sendiri? Mungkin jawabnya ini: lepet itu jajanan lengket yang gak asyik.  Ngapain kue pakai tali segala, ribet.
Walhasil ketupat dan lepet hanyalah produk masa lalu yang makin tersisih dari kanca dunia kuliner modern. Dia muncul di saat Lebaran kemudian lenyap. Dalam tradisi Jawa, ketupat muncul sepekan setelah Idul Fitri. Ini sebagai penanda dan reward bagi kita yang telah sukses puasa sunnah Syawal, karena itu lantas disebut Riyaya Kupat.

Banyak muatan makna dan ajaran mulia terkandung dalam sebuah ketupat dan Lepet, nanti akan saya urai secara ringkas. Tetapi, kini, siapa peduli dengan segala macam kandungan filosofi dari produk budaya sendiri? Padahal ketupat dan lepet, kalau mau objektif, secara tampilan fisik saja sudah terlihat unik dan arsitik. Jika disaji  dengan tangan profesional, kehadiran ketupat lepet di meja makan bakal tak kalah memesona.

Tetapi inilah persoalan mendasar kita. Kita ini sudah merdeka 71 tahun tetapi secara mental masih saja mewarisi mental inlander, khas kaum terjajah. Sebagai bangsa berdaulat kita masih memiliki minder kolektif, bahkan mungkin makin bertambah kronis. Indikasi orang minder warder itu jelas: semua potensi dan yang dimiliki selalu dianggap jelek, sebaliknya apa yang dikatakan dan dimiliki orang lain selalu terlihat lebih bagus. 

Itulah sebabnya mengapa ketupat dan lepet, juga semua warisan budaya leluhur,  tampak sangat buruk di mata kita.Padahal, andaikata kelak produsen tas tersohor Gucci dan Hermes mengeluarkan produk tas eksklusif dan ternyata bentuknya mirip ketupat, saya yakin, hakul yakin, semua mata orang Indonesia akan terbelalak. So pasti semua sosialita, isteri pejabat, dan selebritis pasti terngagah-ngangah. Wow..amazing, desainnya back to nature, benar-benar stylis, hijau janurnya artistik dan eksotis. (Eksotis endasmu! Lha, sejak kemarin-kemarin matamu liat apa?).

Jikalau kelak Malaysia, Bruney, atau Singapura mengembangkan ketupat, lepet, dan kue arbanat lalu menjadi santapan modern yang elok dan lezat, kemudian mengklaim sebagai kuliner asli negeri mereka, maka semua orang Indon yang merasa nasionalis pasti berang dan teriak-teriak di medsos , “Elu, pencuri yang tidak tahu malu.  Dulu ngeklim Reog, Angklung, tari Pendet, Gondang Sembilan, sekarang Ketupat.  Enak aja.”

Padahal mereka lupa bahwa ketupat sebagai makanan tradisional telah merambah ke mana-mana. Tidak hanya di Jawa, tetapi dapat terjumpai di sebagian Sumatera, Malaysia, hingga Serawak, dengan nama yang agak-agak beda seperti kupat atau topat serta dengan bentuk yang bervariasi.

Begitulah. Agaknya jiwa kerdil memang harus kecurian terlebih dahulu untuk menyadari bahwa harta karun miliknya adalah berharga. Kita mirip petani naif yang punya lahan luas dan ternak tapi terbengkelai karena tak sudi terawat. Alasannya bertani bukan pekerjaan yang bergengsi. Tapi begitu  ada tetangga mengambil dan merawatnya, kita pun kebakaran jenggot dan murka. 

Kalau mau berendah hati, ketupat dan lepet sungguh bukanlah kudapan biasa. Sebagai makanan dia lezat dan bergizi, sebagai simbol dia syarat makna dan esensi. Lihat, mana ada makanan barat yang punya nilai-nilai falsafati? Apa makna yang terkandung pada paha ayam goreng Fried Chicken, selain rasa gurih di lidah? Apa arti snack selain untuk memenuhi nafsu ngemil semata?

Masih untung para seniman mau mengangkat ketupat dalam desain karya mereka. Maka ketupat (bersama bedug masjid) menjelma menjadi ikon hari Raya Idul Fitri yang populer. Gambar ketupat bergelantungan memarakkan interior plaza, mengisi bumper program acara televisi, meramaikan status medsos, mewarnai backdrop panggung, serta menghiasi iklan ucapan selamat di koran dan majalah.  Saya memprediksi, ke depan ikon ketupat akan abadi menempel pada Idul Fitri.

Sayangnya, ikon itu hanya berhenti pada simbol dan sebagai ornamen pelengkap belaka.  Ketupat, juga lepet,  tidak hadir sesuai kapasitas dan eksistensinya. Oleh karena itu sudah seharusnya para chief pribumi mau mengangkat makanan khas negeri ini agar disukai kembali. 

Alergi Tradisi

Tersisihnya ketupat sebagai makna juga lantaran tidak banyak orang terpelajar yang sudi memperbincangkan. Para agamawan bahkan cenderung alergi dengan hal-hal yang berbau tradisi, takut terjebak pada bid’ah. Kita sering lupa bahwa dalam berdakwah pun perlu strategi kebudayaan. Orang tidak mudah disadarkan  hanya melalui nasihat formal dan dogmatis. 

Manusia itu selain makhluk sosial juga makhluk simbolik dan bermain (homo symbolicum, homo ludens). Dalam berinteraksi dan berkomunikasi manusia butuh sistem simbol. Juga perlu permainan yang menggembirakan untuk mau menerima pesan dengan nyaman. 

Wali Songo menjalankan dakwah kultural dengan cerdas dan membumi. Karena masyarakat waktu itu gemar wayang kulit, maka cara berdakwah yang efektif bukanlah dengan cara melarang pergelaran wayang, tetapi sang wali justru tampil menjadi dalang idola. Lalu diam-diam mengajarkan tasawuf dan tauhid Islam melalui lakon mashur Dewa Ruci atau membuka “rahasia” surat Kalamasada milik kerajaan Amarta yang ternyata berisi kalimat sahadat.

Pada kuliner selamatan, sang local genius juga menciptakan menu ketupat dan lepet yang nikmat sembari mengajarkan laku kesempurnaan hidup.  Sunan Bonang (1465-1525) memaknai KUPAT sebagai laKU sing paPAT. Yaitu empat keadaan yang dianugerahkan Allah kepada orang yang berpuasa dengan keikhlasan dan kesungguhan yaitu lebar, lebur, luber, dan labur. Lebar artinya telah menyelesaikan puasa dengan sempurna. Lebur maknanya terhapus semua dosa di masa lalu. Luber artinya melimpah ruah pahala amalnya. Sedang labur berarti bersih dirinya, hatinya, dan wajahnya cerah bercahaya.

Ada juga yang mengintepretasikan kupat sebagai kula ingkang lepat, saya mengaku bersalah. Orang bersalah harus berani minta maaf, sebaliknya orang yang terdholimi harus belajar memaafkan meski itu berat. Sedang lepet dimaknai ayo eleke disilep sing rapet, mari segala keburukan dikubur dengan rapat. Sejalan dengan semangat tersebut maka muncullah budaya silaturahim, unjung-unjung, saling bersalaman antarterangga dan sanak famili di hari Fitri.

Yang pasti, simbol bukanlah ilmu pasti. Kupat bisa multimakna tergantung kedalaman dan kreativitas sang penafsir. Tetapi apapun tafsirnya, semuanya bakal memberi panduan hidup kepada orang/audien dengan tanpa paksaan. Sambil mengunyah ketupat yang nikmat hati mereka terilhami lalu tergerak untuk menjalani pesan moral yang ada di dalam ketupat. 

Sampai di sini kita jadi mengerti betapa fungsi makanan bukanlah sekadar pemuas nafsu perut atau sebagai ajang gaya hidup dan pelengkap hangout. Makanan harus dihayati sebagai sarana penguat raga, pemenuhan hak tubuh agar kita sehat dan dapat menjalankan peran di bumi. Yaitu beribadah
dalam pengertian luas  dan menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sumbergambar: creativitywindow.com
Previous
Next Post »