OTOKRITIK BUDAYA PONGAH



Apa yang Anda pikirkan, saat ini? (What’s on your mind?) Pertanyaan ini sangat familiar bagi pengguna sosial media. Begitu membuka laman facebook, Anda langsung disodori pertanyaan itu untuk memancing mulai menuliskan sebuah status. 

Anehnya, ribuan kali kita membaca pertanyaan itu tanpa benar-benar menyadari artinya. Buktinya, sebagian besar yang diunggah  para fesbuker adalah foto-foto narsis, atau kalimat yang bukan what’s on your mind? tetapi lebih banyak pernyataan tentang di mana kamu berada dan kamu punya apa. Maka bertebaran status tentang keberadaan seseorang sedang di chek in di bandara, selfie di tempat kelenceran luar negeri, hingga foto sajian makanan di pusat kuliner waralaba.   

Tidak ada yang salah dari semua perilaku itu, bahkan semakin hari semakin jamak terjadi. Tetapi ini fenomena yang perlu disikapi dengan bijak dan hati-hati. Kian hari godaan untuk riak dan melakukan pamer diri semakin mendapat saluran, medium, kemudahan, dan sikap permisif dari masyarakat.

Bisa Sampeyan bayangkan apa pendapat orang lain dengan status-status semacam itu? Tentu beragam. Bisa menjadi kejutan bagi kerabat dekat, mengundang decak kagum dan komen dari  teman lain: “mantaff pren… top markotop...makin keren aja lo.” Padahal sesungguhnya hampir pasti selalu diikuti komentar minor (tentu tidak tertulis) dari orang lain yang mungkin cemburu dengan kesuksesan orang itu, atau justru jadi bahan ketawaan orang lain yang sudah terbiasa hilir mudik naik pesawat atau meeting di restoran mewah.

Ya, apa mau dikata, gaya hidup berbasis kepongahan tengah membudaya dan kita kerap terbuai di dalamnya. Lalu diam-diam ikut-ikutan “membangun“ eksistensi diri dengan cara instan dan serampangan seperti itu.

Orang-orang seusia saya, tentu masih menangi zaman di mana orang malu memperlihatkan merek di pakaiannya. Semua merek sepatu dan kopyah --branded sekalipun-- tercetak di bagian dalam. Celana buatan penjahit terkenalpun mereknya terpasang di ban pinggang bagian dalam. Sekarang justru terbalik, merek sarung dan baju takwa justru ditaruh di bagian yang memungkinkan jamaah lain mudah membacanya: “Bangga bersarung Mangga!”

Rupanya iklan telah sukses mencuci otak dan membentuk keyakinan baru: “Anda adalah apa yang anda pakai dan Anda miliki.” Bukan lagi ucapan usang Decartes: saya berfikir maka saya (cogito ergo sum). Mau apa, kini tampil menjadi sosok yang wah adalah dambaan hampir semua orang. Sebab ukuran kesuksesan tidak lain adalah akumulasi kepemilikan benda-benda. Bila perlu menipu diri: berlagak saja bagai bos meski sebenarnya pondasi ekonomi amat keropos. 

Zaman Pencitraan
Kita hidup di zaman branding, pencitraan, dan manipulasi penampilan. Nama-nama perumahan dibikin sedemikian rupa sehingga menimbulkan “kebanggaan”bagi calon penghuninya. Penggunaan istilah asing masih menjadi andalan yang memikat. Semua istilah hunian harus dikonotasikan kepada kemewahan dan kemapanan, atau gaya sok ndeso walau sebenarnya tetap borjuis. Maka bertebaran nama-nama hill, cluster, superblock, residence, resort, hingga pondok. Nama toko, plaza, tempat kudapan juga dibikin bergaya agar menimbulkan kebanggaan (betulkah kebanggaan?) bagi calon pembelinya.

Sementara itu, budaya ekstrovert juga lebih mendominasi keadaan. Pribadi-pribadi ekstrovert yang terbuka, superaktif, mementingkan hal-hal lahiriah, dan banyak omong lebih disukai ketimbang orang introvert. Orang yang masuk dalam kelompok terakhir ini diberi stigma negatif sebagai sosok yang tertutup, pemalu, dan susah bergaul. Itulah sebabnya dunia pemikiran, perenungan, kontemplasi, dan berdiam diri menjadi tidak banyak diminati.  Orang lebih suka kepada gegap gempita, perayaan, rebutan kekuasaan, lalu gila kemenangan.  

Hidup dalam atmofir budaya seperti ini, bagaimana kita menempatkan kewajaran hidup dan kesederhanaan hidup seperti yang diajarkan oleh para nabi? Peribahasa “air tenang menghanyutkan” sudah tidak populer lagi, lantaran orang sekarang lebih memilih sebagai sosok “tong kosong nyaring bunyinya.” Tak masalah kosong (otak), yang penting heboh… bro.
 
Sudah tidak banyak orang yang mau berhikmad kepada ilmu padi, makin berisi semakin merunduk. Memang faktanya, sekarang makin banyak orang yang merunduk.  Tetapi merunduk bukan pertanda tawadhu, melainkan sibuk bermain gawai (gadget). Sibuk nyetatus, chatting, BBM, WA, atau main game. Mengunggah foto instagram dan berharap hujan pujian dan banjir follower. Berkicau di twitter lantas merasa populer bilamana turut nimbrung dalam trending topic dunia.

Bagitulah keadaannya, semua serba membuai. Ketika sikap dan perilaku riak, takabur, dan kesombongan menjadi hal yang wajar, maka sesungguhnya kita justru perlu ekstra waspada. Jangan sampai kita terbawa arus tanpa sadar, sebab semua itu akan menggerogoti kualitas diri dan keimanan. Semua kepongahan berpotensi mengikis bahkan menghanguskan amal kebajikan, bagai bara api melahap kayu bakar. 

Bila ada orang mengunggah status di medsos: “Ya Allah, betapa indahnya menjalani shalat malam ini”, “buka bersama dengan anak yatim,” atau  Alhamdulillah, selesai tawaf” boleh jadi memang benar-benar cuma bermaksud mengutarakan rasa syukur dan agar dicontoh orang lain, namun dia harus tetap menata hati agar tidak sampai tergelincir kepada sikap riak dan kesombongan diri. 

Kiranya, tampil menjadi pribadi tengahan dapatlah dijadikan pilihan. Hadir sebagai sosok moderat yang tidak berlebihan namun juga tidak kekurangan bukanlah pertanda ketidaksuksesan. Meskipun harus diakui, zaman sekarang ini, melakoni hidup bersahaja sebagaimana ajuran agama tidaklah mudah. Berani menjalani kehidupan dengan penuh kewajaran sungguh bukan pilihan sederhana. Dia harus siap dipandang sebagai manusia biasa-biasa saja.  Bahkan bukan mustahil jika sekali tempo dia tiba-tiba diberi santunan orang. (Adriono)

Tulisan ini termuat di majalah Sakinah edisi Oktober 2015.
foto ilustrasi: saferandonapitu.blogspot.com

Previous
Next Post »

2 comments

Write comments
Unknown
AUTHOR
October 6, 2015 at 6:08 AM delete

mantaff pren… top markotop.. he he...

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
October 6, 2015 at 8:05 PM delete

bangga ga bersarung ha..ha..ha...

Reply
avatar