MEMANG BEDA VS SEKADAR BEDA





Setiap orang  memang beda, bahkan cenderung kepingin tampil beda.  Lalu dicarilah pembedanya. Penampilan fisik  dengan segala asesorisnya adalah sarana yang paling lazim dipakai sebagai pembeda. Busana pun sejak lama dijadikan sebagai politik tubuh. Dengan busana orang dapat mendesain dirinya mau dicitrakan sebagai apa. Mengenakan sorban atau memakai jas dasi jelas menghadirkan persepsi yang berbeda di mata orang yang melihatnya. 

Orang-orang memilih tempat hunian sesuai daya beli dan seleranya. Pergi pulang kerja dengan menaiki  kendaraan pribadi. Dari situ  strata sosial seseorang pun dibaca dari berapa besar tipe rumah dan apa moda  transportasinya. Terus, dicari juga pembeda tambahan yang sebetulnya sangat artifisial dan dangkal makna. Mereka merasa tampil keren manakala dapat memasang pelat nomor cantik atau punya nomor handphone ciamik.

Tapi benarkah semua itu sebentuk pembeda yang nyata? Ternyata tidak. Sebab gaya hidup dan segala macam fashion yang sedang tren segera diikuti para pengekornya, hingga akhirnya penampilan mereka menjadi seragam kembali.  Awalnya mengenakan batu akik di jari manis menjadi pembeda yang membanggakan. Tapi kini, tatkala semua orang pada ramai-ramai pakai akik, adakah kebanggaan yang tersisa? 

Sejatinya pembeda antara individu dengan individu lain bukan terletak pada gaya dan penampilan luarnya. Pembeda substantif orang per orang terlihat dari sikap hidup dan prinsip yang digenggamnya. Biasanya orang-orang  yang memiliki sikap adalah orang yang berbeda, meski dia tidak berniat tampil beda. Lazimnya orang yang memunyai prinsip hidup akan menjadi eksis meski tanpa dukungan maupun publikasi. Orang lain boleh saja tidak sependapat dengan sikap dan prinsip hidupnya, tetapi mereka tetaplah sosok yang beda lantaran mereka otentif, menjalani hidup sesuai dengan kehendak dan nuraninya sendiri.

Sikap seseorang tidak selalu terlihat dari statemen yang di umbar di mimbar dan media masa atau bualan status yang diunggah di sosmed.  Sosok yang memiliki prinsip adalah individu yang menjalani pantangan dan amalan tersendiri sepanjang hidupnya. Ini dilakukan bukan demi pencitraan, tetapi memang menjadi komitmen pribadi yang dipilihnya lalu ditaati sepenuh hati. 

Boleh jadi mereka bukan tokoh besar atau selebritis terkenal. Orang-orang yang memiliki sikap kuat mungkin terlihat seperti orang-orang kebanyakan,terselip di antara kerumunan orang yang antre karcis di stasiun kecil atau berada di antara puluhan kuli bangunan proyek jalan.

Sebagai contoh, saya memiliki teman kerja yang memiliki prinsip pantang berhutang. Hari gene tidak utang? Naif banget. Bukankah utang dapat kita gunakan sebagai modal untuk kegiatan produktif, mungkin begitu komentar orang sekitar. Tapi dia tidak peduli dengan penilaian orang. Bahkan dia sendiri juga harus siap menanggung kerepotan atas pilihan hidupnya itu. 

Dia enggan mengambil kredit rumah, juga tidak punya kartu kredit. Tawaran umrah secara kredit juga ditolak meski dia sangat ingin ziarah ke baitullah.  Apa alasannya? saya mencoba tanya. Ternyata dia tengah berhikmat dengan anjuran agama: Takutlah kamu terhadap utang. Utang hanya membuat  kamu tidak dapat tidur di malam hari dan terhina di siang hari.”  Pria itu telah memilih sikapnya sendiri. Orang boleh tidak sepakat dengannya. Namun betapapun dia telah hadir sebagai sosok yang berbeda. Saya yakin dia bahagia karena dapat  tidur nyenyak di malam hari dan tidak tunduk  terhina di siang hari. 

Enggan Menjamak

Ibu teman saya lain lagi. Saat bepergian jauh dia bersikukuh tidak mau menggabung dan meringkas  shalat (shalat jamak ghosor). Akibatnya perjalanan rombongan keluarga dari Surabaya ke Jakarta harus break beberapa kali untuk menunaikan kewajiban shalat. Ketika ditanya mengapa tidak mau menjamak shalat, bukankah agama memberi dispensasi kepada musafir? Dengan santai dia menjawab, “Sekarang di mana-mana gampang kita jumpai masjid, kendaraan juga dapat dihentikan setiap saat, jadi kenapa harus shalat jamak ghosor?”

Dia tidak memandang ada sisi kerepotan dalam perjalanan sehingga harus minta dispensasi mengerjakan kewajiban shalat. Tentu sikap ini merepotkan anggota rombongan yang lain. Meski saya tidak sependapat dengan pendapat ibu itu, tetapi diam-diam saya respek dengan keteguhannya.  Betapapun orang yang memiliki pendirian adalah orang-orang yang memiliki nilai plus dan menjadi pribadi yang berbeda. 

Di kampung saya ada Pak Rokim yang hidupnya pas-pasan tetapi pantang meminta-minta, meskipun jika  diberi sesuatu dia tidak menolaknya. “Alhamdulillah,” begitu selalu diucap terlebih dahulu baru kemudian disambung dengan kalimat, “matur nuwun” kepada sang pemberi. Lihatlah, pilihan kata Pak Rokim yang cermat. Mendahulukan bersyukur kepada Sang Pemberi Rezeki baru kemudian berterima kasih kepada manusia yang menjadi sarana pengantar rezeki itu sampai di tangannya. 

Di  ujung gang sana ada Pak Goni. Sosok PNS rendahan di PT Kereta Api  yang tak pernah datang terlambat dan tak pernah pulang sebelum waktunya. Dia pantang korupsi, bahkan waktu kerja sekalipun.  Kami mengagumi, karena dari keluarga sederhana itu tumbuh anak-anak yang sukses menempuh pendidikan tinggi dan sukses menjadi orang.

Selain punya pantangan, mereka biasanya juga memiliki amalan yang spesifik tetapi dilakukan dengan rutin dan istiqomah. Ada seorang bakul di pasar, saat menimbang bawang merah selalu menambahkan beberapa butir bawang meskipun timbangannya sudah menunjuk jumlah yang sesuai. Mengapa perlu ditambah segala, apa tidak rugi? saya mencoba menelisik sikapnya. 

“Tambahan itu saya niatkan sebagai sedekah harian saya. Saya tidak punya uang banyak, ya bisanya cuma nambah bawang ini,” katanya polos.  Yang tidak disadari mbok bakul itu adalah perbuatan ini ternyata berdampak signifikan. Dia disukai pembeli dan pelanggannya banyak sekali. 

Ada lagi pemilik toko di pasar yang memiliki kebiasaan aneh. Ketika pulang istirahat, dia sering membeli dagangan dari pedagang kecil yang jual di emperan pinggiran pasar. Sesampai di rumah anak-anaknya sering ngomel jengkel, “buah dan sayuran layu gini kok dibeli to, Buk.” Sang ibu cuma nyeletuk, “aku kasihan. Sudah siang dagangannya tidak laku-laku, ya saya beli.”  

Begitulah sosok-sosok orang “biasa” di sekitar kita yang ternyata mampu hadir otentik dengan pembeda hakiki. Mereka tak butuh eksis dan tidak gemar selfie, tetapi sikap dan perilakunya telah membuat mereka menjadi pribadi yang layak diapresiasi dan layak dipanuti. (Adriono)



Tulisan ini termuat di majalah penyejuk jiwa Sakinah edisi November 2015.
sumber foto: talentlinkedin.com


Previous
Next Post »