Selayang Pandang Kultur Arek Suroboyo (2) : NISOR MEJA ONOK ULANE




Budaya Surabaya adalah budaya arek. Sebenarnya arek itu bermakna anak, tetapi telah terjadi perluasan makna. Berapapun usia seseorang tetap dapat disebut arek. Umumnya warga Surabaya bangga  menjadi arek Suroboyo. 

Kata teman wartawan, ada cara sederhana untuk mendeteksi apakah seseorang itu asli arek Suroboyo atau pendatang yang kemudian ber-KTP Surabaya. Lontarkanlah pertanyaan: Koen arek endi? (Anda orang mana?). Jika jawabannya, “aku arek Suroboyo”, itu pertanda bahwa dia justru bukan orang Surabaya.  Bahkan boleh jadi dia orang Sidoarjo, Krian atau sekitarnya. 

Sebab, jawaban penduduk asli Surabaya cenderung lebih spesifik menunjuk kepada nama kampung kelahirannya. Umpamanya, “aku arek Wonokromo, arek Tambaksari, atau aku arek Montero.” Lho, memang ada kampung Montero? Ada. Petemon Erte Loro (RT 2).

Arek adalah salah satu subkultur yang ada di Jawa Timur. Provinsi Jatim memiliki subkultur yang cukup banyak. Ada Subkultur Mataraman yang berkembang di kawasan Jatim bagian barat seperti  Nganjuk, Kertosono, Kediri, Madiun, Ponorogo, Blitar, Trenggalek, dan Pacitan.  Ada subkultur Madura di Pulau Madura. Sedang warga Madura yang merantau ke  kawasan Tapal Kuda (Probolinggo, Lumajang, Jember dan sekitarnya) membentuk subkultur Pendalungan.  

Di sekitar pegunungan Bromo ada subkultur Tengger.  Banyuwangi juga memiliki budaya osing dengan bahasanya yang khas. Pulau Bawean punya  subkultur sendiri yang berbeda dengan Madura. Adapun subkultur arek berkembang di kawasan Jombang, Mojokerto, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pandaan, sampai ke Malang selatan.  

Dari segi dialek, bahasa arek terdengar lebih kasar dibanding dengan bahasa penduduk subkultur Mataraman. Mereka menyebut boso Suroboyoan. Orang Surabaya menyadari hal itu dan menganggapnya sebagai pembawaan yang sulit diubah.  Oleh karena itu mereka kerap dibikin kikuk dan tersipu malu manakala harus berbahasa halus (krama inggil) dengan lawan bicaranya yang berasal dari Jatim kulonan. Apalagi kalau sampai ketemu calon mertua atau besan dari Solo atau Yogyakarta.  Sepurane ya, aku iki wong kasaran, Rek. Wong Suroboyo gak isa basa alus,” ujarnya. Maksudnya, minta maaf karena tidak dapat bertutur kata dengan halus dan sopan.

Dalam hal tata krama (unggah-ungguh), budaya arek juga terlihat lebih egaliter dan tidak terlalu hirarkis. Hubungan antara anak dengan orang tua cenderung lebih cair. Kebanyakan anak Surabaya menggunakan bahasa ngoko (bahasa antar orang sebaya) bila berbicara dengan orang tua maupun dengan embahnya. Bahkan dengan gurunya di sekolah kebanyakan juga demikian. Ini beda jauh dengan bocah Jawa Tengah yang sudah pintar berbahasa halus kepada bapak ibu maupun orang yang lebih tua.

Jadi jangan kaget jika suatu saat mendengar ada remaja Surabaya yang kehilangan sebungkus rokok lalu menuding sang ayah sebagai pencurinya. “Rokokku mbok colong, yo  Pak? Ngawur ae bapak ini.” Anehnya, bapak tidak tersinggung, malah dengan diplomatis dia berkilah, “Aku gak nyolong, Dul. Iku maeng mek katut nang kesakku.” Sang bapak membela diri bahwa dia tidak mencuri, hanya rokok tersebut secara tidak sengaja masuk kantongnya. Ah dasar, bapak dan anak sama-sama “ahli hisap.”

Tetapi pola relasi seperti itu bukan berarti hubungan antaranggota keluarga mengabaikan adab sopan santun. Mereka tetap saling menghormati, hanya caranya yang mungkin tidak sehalus budaya daerah lain. Di balik bahasanya yang kasar, bahkan kadang diselingi umpatan cak-cuk,  sesungguhnya orang Surabaya itu baik hatinya. Mereka umumnya bersifat terbuka, blak-blakan. Segera nyeplos begitu ada yang tidak berkenan di hati, tetapi dia dapat segera melupakan, tanpa dibebani rasa dendam. 

Jadi, jika selama mengikuti pertemuan ilmiah tahunan ini  Anda mendapat perkataan dan perilaku yang terasa kurang sopan saat berinteraksi dengan orang  Surabaya, ya harap maklum.  Memang begitulah pembawaan dan atmosfirnya. Nisor meja onok ulane, ojok gela wis carane (di bawah meja ada ularnya, jangan kecewa memang sudah begitu caranya).

Namun jika di tempat umum ada pengasong menawarkan buah atau koran hingga nyaris menyodok hidung Anda, ya jangan dikira sebagai budaya Surabaya. Itu hanya ulah oknum dan Anda sedang sial. Selamat mengelus dada (asal bukan dada tetangga).  Cak Adriono

Sumber Foto: joos.today.com




Previous
Next Post »