Selayang Pandang Kultur Arek Suroboyo (1): MODAL TEKAD HADAPI BAHAYA



 
Bila  Anda pendatang yang belum banyak paham tentang Surabaya, sesekali bolehlah iseng bertanya kepada warga kota Pahlawan ini: “Apa sih arti Suroboyo?” Biasanya akan ada responden dadakan yang nyeletuk: “Suro itu artinya wani (berani). Boyo itu utang. Jadi, orang Surabaya harus berani utang.

Tentu saja ini kelakar jalanan. Tetapi itulah salah satu kultur khas arek Suroboyo: spontan dan rata-rata punya sense of humor yang lumayan bagus. Sungguh berani utang bukan monopoli orang Surabaya. Di zaman kartu kredit ini semua orang, apapun agama dan sukunya, berpotensi menjadi debitur andal. 
   
Jadi lupakan soal karakteristik berani utang itu. Mari kita kembali ke laptop. Suroboyo berasal dari kalimat suro ing boyo.  Suro artinya wani, boyo maknanya bebaya, pekewuh (bahaya, kesulitan). Jadi Surabaya adalah berani menghadapi mara bahaya. Dan itu sudah dibuktikan dalam berbagai peristiwa nyata. Yang monumental adalah pertempuran keras di bulan November  1945.

Arek-arek Suroboyo berbekal tekad baja melawan tentara profesional Sekutu dan NICA dengan persenjataan dan strategi perang seadanya. Keberanian mereka mengejutkan dunia lantaran dalam pertempuran hebat 18 hari itu komandan Brigjen AWS Malaby tewas terbunuh.  

Saat itu populer sebuah parikan yang sangat heroik: Tali duk tali layangan. Awak situk ilang-ilangan. Terjemahan bebasnya kira-kira begini: tali ijuk tali layang-layang, badan cuma satu, kepalang tanggung,  sekalian dikorbankan demi negara. 
 
Hingga kini modal tekad atau banda nekad (bonek) masih kental mewarnai jiwa Surabaya. Tetapi sayang maknanya telah terdistorsi demikian parah. Bonek telah identik dengan ulah suporter sepakbola yang senang bikin kisruh.

Makna kata Surabaya juga dapat dicari dalam sastra lisan atau legenda rakyat yang dulu kerap dipentaskan teater ludruk. Alkisah, terdapat dua binatang besar penguasa pesisir dan laut Jawa. Mereka adalah seekor sura (ikan hiu?) dan buaya. Kedua hewan itu bertarung memperebutkan wilayah kekuasaan darat dan laut. Perang tanding berakhir sampyuh, sama-sama tewas meregang nyawa.  Dua nama binatang itulah yang kemudian melahirkan akronim Surabaya. 

Lebih lanjut dikisahkan, bangkai sura dan baya itu dikerubuti semut. Kelak, di saat reja-rejaning zaman, tempat tersebut disebut kampung semut. Itu pula sebabnya stasiun kota Surabaya disebut stasiun Semut. Benarkah demikian? Entahlah. Namanya juga legenda, di dalamnya bercampur  antara dongeng, mitos, dan sejarah. 

Yang  jelas keberadaan dua hewan mitos itu telah terabadikan dalam lambang resmi kota Surabaya sejak zaman penjajahan hingga kini.  Tetapi bagaimana hubungan nalar antara simbol ikan dan buaya dengan kota Surabaya masih misteri. Sejarahwan zaman Hindia Belanda, J Hageman J Cz, dalam bukunya Soerabaia terbitan Februari 1864, menyebut lambang itu memang kontroversial. Sejauh pengamatannya, tidak ada istilah Jawa yang mengartikan sura sebagai seekor ikan.  Sejumlah nama kota di Jawa seperti Surakarta dan Kartasura serta  nama-nama pahlawan legenda Jawa (Suramenggala, Suradilaga, atau Surapati) tidak ada kaitannya dengan ikan hiu. Kata Hageman, Sura dalam semua penyebutan itu berarti  berani, tidak ada kata lain selain kalimat itu. 

Dahulu kala kota terbesar kedua di Indonesia ini hanyalah sebuah desa yang bernama Surabhaya atau Churabhaya, sebagaimana tercantum dalam prasasti Trowulan 1  dan kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Saat itu Surabaya merupakan gerbang kerajaan Majapahit yang berada di muara Kali Mas. Namun ada versi lain yang menyebut kota Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.

Von Faber mengatakan, Surabaya didirikan tahun 1275 oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan pada 1270. Sedang berdasar SK Walikota Surabaya No. 64/WK/1975, nama Surabaya berasal dari kata sura ing bhaya yang berarti keberanian menghadapi bahaya. Sejarah mencatat, Raden Wijaya gagah berani menghalau tentara Tar-Tar kiriman Khubilai Khan pada 31 Mei 1293. Episode bersejarah itu kemudian disepakati sebagai hari jadi kota Surabaya.  Cak Adriono

Sumber foto: avieonline.wordpress.com dan Wikipedia.com
Previous
Next Post »