MESTINYA muka adalah cerminan jiwa. Mimik dan
ekpresi wajah menggambarkan suasana batin seseorang. Itulah sebabnya bilamana ada
gadis sedang malu saat dirayu, maka merah padam mukanya. Bila ada bocah kecil
yang ketahuan berbuat curang, serta merta dia menutupkan dua tangan mungilnya
ke wajahnya. Malu.
Tetapi, itu semua ternyata pemahaman yang naif
tentang ilmu membaca raut wajah. Sebab yang terjadi akhir-akhir ini justru
sebaliknya. Lihatlah wajah-wajah para terdakwah, tersangka, maupun terduga aneka
megaskandal korupsi di negeri ini. Saat diclose
up wajahnya oleh kamera televisi, air
mukanya terlihat baik-baik saja. Senyam-senyum kepada awak media seolah tanpa
dosa. Mereka mengangkat wajah tanpa kikuk sama sekali. Tak tebersit sesal atau malu
di wajahnya.
Dewan juri festival film bisa dibikin bingung, andai
disuruh menilai siapa sebenarnya yang layak diberi piala “aktor berwatak”,
ketika menemui sekian banyak tikus berdasi itu tampil tebar pesona membawakan peran
sosok yang baik, jujur, dan sholeh. Lie detector pun perlu bekerja keras guna
mendeteksi kebohongan para “aktor” kawakan itu.
Dengan ketawa-ketawa mereka membantah segala dakwaan,
tudingan, laporan, sorotan, maupun isu miring terhadapnya. Mereka lihai bersembunyi
di balik asas praduga tak bersalah, lalu berupaya membalik opini publik dengan
menyebut diri sebagai korban fitnah nan keji. Tidak lupa bantahan disisipi
idiom-idiom agama, supaya lebih mantap daya tipunya.
“Saya telah dizalimi, saya hanya korban”, “Insyaa
Allah saya tidak memakan sepeserpun uang haram itu”, “nama saya dicatut”, “saya
siap digantung”, “silakan bongkar semua biar jelas semuanya.” Tak lupa
langkah-langkah tandinganpun dilakukan dengan gagahnya: mulai dari mengajukan
gugatan praperadilan hingga pengaduan pencemaran nama baik dengan menghire sederet pengacara beken.
Duh, ilmu apa sih yang telah didalami hingga mereka
begitu canggih berkelit dan hipokrit? Intelektualitas macam apa yang digenggam hingga
membuat mereka tak lagi menghargai kebenaran? Moralitas apa yang dipelihara
sampai begitu enteng mengingkari semua perbuatan tercelanya? Tatkala palu hakim
diketok pun, mereka tetap bergeming. Bahkan memilih naik banding, kasasi,
hingga minta PK. Jangan-jangan di akhirat, malaikat pencatat amalpun bakal dia
gugat kelak.
Sudah putuskah urat malunya, sehingga orang yang bersalah
itu dapat tampil demikian santai di depan publik? Sedangkan pencoleng kotak
amal masjid atau pencopet kere saja masih memelengoskan wajah bilamana kepergok
kamera media.
Orang Jawa suka berseloroh begini: “makanya jangan
kebanyakan makan sayur rebung.” Memang kenapa, Cak? “Nanti kamu jadi rai gedeg.” Gedeg itu dinding bambu yang tebal. Bayangkan saja bagaimana
jadinya bila muka sudah setebal anyaman bambu.
Kini agaknya muka bukan lagi cerminan jiwa. Bermuka
dua seolah sudah menjadi kelaziman. Apalagi sekarang orang semakin gemar mencari
muka dan berkolusi, tidak terlalu peduli demi kepentingan itu harus kehilangan
muka dan mengesampingkan harga diri (*) adrionomatabaru.blogspot.com
ilustrasi foto: jundishes.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon