Dulu saya pernah terlibat proses produksi acara
televisi di JTV Surabaya. Sebuah paket acara tausiyah pendek yang disiapkan
untuk tayangan beberapa menit menjelang berbuka puasa. Narasumbernya KH A. Mustofa
Bisri atau pupuler disebut Gus Mus.
Karena saya mendapat peran sebagai penulis scrip, otomatis dalam beberapa hari saya
berkomunikasi intensif dengan Pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin, Rembang,
Jateng itu. Mungkin karena itu, teman-teman kru produksi menanggap saya punya
kedekatan dengan kyai kharismatik itu.
Beberapa teman mulai berharap kepada saya, “Hey
Dri… mbok kamu minta wirid ke Gus Mus?”
“Wirid iku
opo?” tanya saya yang hanya paham setengah-setengah tentang istilah itu.
“Sudahlah mintak saja. Wirid itu amalan doa. Dzikir
yang dibaca berulang-ulang itu lho…”
Karena desakan itu, saya memberanikan diri mendekati
beliau di saat break syuting.
Sambil bertingkah sesopan mungkin, meski tetap
kikuk, saya berucap: “Gus Mus, nuwun sewu,
kulo nyuwun wirid.”
Apa respon Gus Mus? Ternyata beliau cuma tertawa. Bahkan
agak terbahak. “Wong penggaweyanmu koyok ngono kok njaluk wirid,” ujar beliau
di ujung derai tawanya.
Seketika itu saya jadi malu dan merasa bersalah.
“Nah kan, gara-gara kalian, saya jadi diketawain
Gus Mus,” kata saya sambil menoleh ke teman-teman kru. Dengan mesam-mesem,
kepada Gus Mus saya mencari pembenar atas permohonan wirid tadi, “Begini Gus,
saya ini hanya penyambung lidah rakyat, penyambung lidah teman-teman itu lo.”
Maka, tetap dengan wajah yang teduh, Gus Mus dawuh begini, “Wis ora usah wirid-wiridan. Sambangono
wae nak ndulur. Terutama sing sakit (Sudah, tidak usah wirid-wiridan.
Kunjungi saja sanak saudara, terutama yang sedang sakit.”
Ucapan Gus
Mus itu hingga kini masih terngiang di telinga. Boleh jadi itulah “ijazah”
wirid yang diberikan beliau kepada muslim kelas awam seperti saya. Maka saya
pun berupaya menyambung jalinan silaturahim ke sanak famili dan beranjang sana ke teman lama di saat ada
waktu luang atau di saat ada reuni.
Setiap mendengar kabar ada teman atau saudara
mengalami sakit, saya jadi teringat pesan Gus Mus. Maka saya berupaya menjenguknya.
Tetapi terus terang tidak semua. Bahkan saya masih sering punya segudang alasan
untuk tidak membezuk mereka.
Kini, semakin saya menyadari betapa tidak sederhananya
pesan Gus Mus itu. Menyambung persaudaraan dan peduli dengan orang yang
kesusahan adalah wirid sosial yang menjadi esensi urip bebrayan, hidup bermasyarakat.
Oala Adri, baru dikasih satu wirid “segitu” saja
kamu tidak bisa melakoni. Lantas mau
minta wirid apa lagi kepada Gus Mus?
adrionomatabaru.blogspot.com. sumberfoto: fiqhmenjawab.net
Sungkem hormat kagem Gus Mus
Colek: Muzammil, Joni Ari, Khusnaini, Khusnus
Yakin, Agus Tri, Ainur Rofiq, Ardiana, jamaludin, mohammad tohir
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon