Hidup itu seperti orang jemparingan
(panahan tradisional).
Untuk berhasil dibutuhkan tiga hal: sasaran, fokus, dan aksi.
Sasaran lazimnya dinyatakan
dalam bentuk target, visi misi, resolusi, komitmen, MoU, pakta integritas, dan
semacamnya. Namun sasaran hanya akan berhenti menjadi slogan manakala tidak
disertai aksi nyata.
Seperti halnya seorang pemanah, aksi nyata akan berjalan efektif --hanya
jika-- kita fokus kepada satu sasaran tembak. Anak panah yang dilepas busur dapat
melesat cepat bila dipasang lurus ke depan.
Bisakah panah melaju sempurna dalam posisi melintang, demi untuk mengejar
dua sasaran sekaligus?
Hidup itu seperti olah jemparingan.
Bukan hanya butuh aktivitas raga tetapi juga perlu gerak jiwa.
“Jemparingan itu olahraga dan
olahrasa,” kata seorang pemanah kepada saya.
Oh, mungkin karena olahrasa, sepanjang latihan, gending Jawa terus mengalun.
Pemanah juga boleh ngunjuk wedang teh kopi atau ngudut rokok.
Membidik dilakukan dengan cara duduk, sebab di medan perang, prajurit
keraton Jawa harus lihai memanah dari atas pelana kuda.
Didorong rasa ingin tahu (juga kepingin selfi) kuberanikan untuk memohon:
”Bolehkah saya mencoba merentang gendewa?”
Pria Jawa itu menanggapi dengan tutur kata yang halus:
“Boleh, tapi ada syaratnya. Panjenengan
harus mengenakan pakaian adat dulu. Juga mendaftarkan diri dulu sehari
sebelumnya.”
Ya, Sudahlah. Toh menonton saja sudah mendapat banyak makna.
Kini gladi jemparingan sudah mulai
langka. Untungnya kegiatan ini masih dapat dijumpai secara berkala di Pendopo
Ambarrukmo, Jl. Laksda Adisucipto 81,
Yogyakarta, persis di samping Ambarrukmo Plaza. Biasanya berlangsung pada Jumat
siang hingga senja. adrionomatabaru.blogspot.com. #Ambarrukmomemories.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon