Tidak banyak referensi yang kumiliki tentang ibukota
Sulawesi tengah ini. Maka kumasuki saja kota Palu dengan kacamata seorang bocah.
Memandang segala yang tersaji di depan sana dengan rasa senang dan takjub penuh,
tanpa prasangka dan harapan macam-macam.
Turun di bandara Mutiara Sis Aldjufri yang tenang,
bahkan cenderung lengang (Ah, andai Juanda seperti ini). Tebing-tebing dengan
tanah putih tampak di kiri kanan jalan raya. Pantai indah dengan laut dua macam
warna. Air biru laut bertemu dengan coklat air muara. Santai melintasi jembatan
kuning melengkung, yang sempat kulihat tadi saat di udara.
Ini kota berada di bawah katulistiwa, membuat panas
meruap di sekujur kota. Tetapi tidak sampai membikin hati gerah. Apalagi di dalam mobil jemputan
mengalun lagu-lagu Indonesia nostalgia. Saya tidak tahu, kenapa orang Sulawesi umumnya
gemar lagu lama dan mellow? Lagu Gelas-gelas Kaca Nia Daniati, Hati yang Luka Betharia Sonata, hinggaTommy J. Pisa, sepertinya masih terus hits
di Palu (juga di Makassar dan Manado
yang sempat kukunjungi tempo hari).
Boleh jadi ini lantaran pengaruh tayangan Golden Memories
di Indosiar. Tapi saya enjoy saja. Buktinya,
mulut turut mengikuti refrain Iis
Sugianto.yang mendayu itu,” “Jangan jangan kau sakiti hatinya. Jangan
lagi sayang…”
Lantas apa menu makan siang ini? “Ayo kita makan
masakan tradisional Palu,” kata Dr.
Heru Wardoyo, Rektor Universitas Muhammadiyah Palu, sambil mengajak kami
menuju Fakultas Pertanian. Aneka kuliner
tersaji di meja. Yang menarik, di sebelah nasi, terdapat jagung dan singkong
rebus.
“Ini namanya kembali ke selera asal. Kami dulu
makang ubi kayu sebelum Orde Baru memaksa kami makan nasi,” kata Pak Burhanuddin,
Dekan FE, sambil tertawa. Kucoba ambil sepotong singkong, kudampingi sayur pakis bunga pepaya serta ikan
laut. Wow mantaf, singkongnya benar-benar medhuk (apa ya bahasa indonesianya
medhuk?). Pokoknya maknyus. Pedasnya pas (ini bukan Manado, Jo). Sayang saya belum ketemu Kaledo (kaki lembu
Donggala) yang katanya lebih dahsyat.
Diversifikasi pangan tampaknya memang perlu agar
tidak semua suku bergantung kepada beras. Jadi saya heran ketika mendengar
pemerintah hendak mencetak ribuan hektare sawah di Papua, sebuah kawasan di
mana makanan sehari-hari masyarakatnya adalah bubur sagu, papeda. (*)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon