Seharian Kamis tadi, saya bersama son andries
mengunjungi tujuh rumah warga kurang mampu di kampung Rungkut Alang-alang, Rungkut
Lor Dalam, dan Rungkut Lor Mulyo Surabaya. Kami berdua tengah mendokumentasi kondisi
rumah-rumah yang sebentar lagi bakal dibedah agar layak huni.
Ya, bedah rumah. Tetapi ini bukan program televisi,
melainkan kepedulian Ikatan Konsultan Nasional Indonesia (INKINDO) Provinsi
Jatim. Bakti sosial ini menjadi bagian dari rangkaian acara ulang tahun ke-34
organisasi para konsultan perencana dan konsultan pengawas konstruksi dan
nonkonstruksi itu.
Rata-rata rumah yang hendak direnovasi adalah milik
para janda yang telah ditinggal wafat suaminya. Mereka mencoba survive dengan
bekerja seadanya, momong anak tetangga yang ditinggal kerja oleh kedua orang
tuanya, momong cucu, atau jualan wedang kopi.
Mereka tinggal di gang sempit di tengah kampung
yang padat. Rumahnya suram kurang cahaya mentari meski dimasuki pada siang hari.
Satu-satunya bilik depan yang tidak
begitu luas digunakan sebagai ruang multifungsi. Ya untuk ruang tamu, untuk naruh
cucian kering, juga untuk tidur. Kasur pun digelar tanpa dipan. Meski begitu
saya melihat rona gembira di wajah mereka, begitu diberitahu, tim bedah rumah
akan segera bekerja dalam minggu-minggu ini.
“Ibu ingin rumahnya diperbaiki kayak apa?”
tanya saya sekadar ingin tahu.
“Terserah
Pak. Pokoke mboten bocor kula empun seneng. Kersane saged didamel mbeber
sajadah. Saged didamel sholat,” jawab Ibu Umi Salamah (75 th) yang tinggal di Jl. Rungkut Alang-alang 151A.
Sebuah keinginan yang mendasar dan sederhana: atap rumah tidak bocor sehingga
bisa dipakai untuk menggelar sajadah sholat.
Kiranya menjadi orang miskin di tengah metropolitan
tidaklah gampang. Konon, lebih sengsara orang miskin di kota ketimbang kaum
papa di desa. Kalau di desa orang masih bisa membuat sayur dengan memetik daun
singkong dan daun kelor di pekarangan dengan gratis. Sedang orang kota harus
membeli semua bahan makanan yang hendak dimasak. Air bersih dan gas elpiji juga
harus beli.
Mereka adalah kaum marginal yang hari-harinya
disibukkan aktivitas mencari kebutuhan pangan, dan sekali tempo untuk sandang.
Sedang untuk kebutuhan papan, sudah tidak pernah kebagian dana lagi.
Dalam kondisi demikian, kepedulian asosiasi profesi
seperti INKINDO Jatim tentu sangat berarti. Itu setidaknya terlihat pada saat kami pamit pulang, sebagian
dari mereka mengucapkan terima kasih berulang-kali. Namun sebagian lagi hanya
mengembangkan senyum ramah. Boleh jadi mereka masih belum percaya 100% bahwa
rumahnya benar-benar bakal dibedah mulai minggu mendatang. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon