MINDSET DIGITAL

  

Ada kesenjangan generasi yang terjadi di dalam dunia pendidikan, bila tidak disikapi bisa menjadi masalah serius. Para dosen atau guru umumnya berasal dari angkatan jadul (katakanlah generasi baby boomer atau generasi X), sedangkan mahasiswa atau siswanya adalah generasi Milenial atau Y maupun Gen Z. Hal ini yang kadang membuat proses pendidikan menjadi terhambat. 

Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA,  mantan Mendikbud RI, menyebut, banyak di antara kita yang masuk dalam kategori migran digital, sedangkan anak sekarang sudah menjadi native digital. Ibarat kata, bayi sekarang sejak lahir procot, pegangannya sudah hape. 

Sebagai ilustrasi. Dulu kita lahir di Jawa. Lalu setelah dewasa pergi bekerja merantau atau transmigrasi ke Sumatra. Maka kita migrasi, pindah lokasi geografis, ke pulau lain sebagai kaum pendatang. Nah, di era digital, yang pindah bukan aspek geografisnya, tetapi  zamannya. 

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan? “Para migran digital harus beradaptasi kalau mau eksis. Harus aktif mengejar, meskipun tetap ketinggalan, setidaknya tidak tertinggal jauh-jauh.  Untuk dapat sukses kuncinya ada satu yaitu menjadi pembelajaran sejati atau true learning. Sinau, sinau, sinau. Kudu dipecuti. Kalau tidak, habislah sudah,” kata beliau kepada kami dalam perbincangan hangat di kantornya, menjelang sore. 

Dalam pandangan Prof. Nuh, hidup di era digital hendaknya juga menggunakan mindset digital. Pola pikir yang kompatibel dengan tuntutan zaman. Para leader perlu sekali punya mindset ini, agar dapat menggerakkan anggotanya untuk bertransformasi dengan lebih cepat. 

Mindset digital ditandai dengan tiga hal. Pertama, adanya belief. Semua menyadari bahwa teknologi adalah pedang bermata dua, punya sisi positif dan negatif, ada ancaman dan peluang. Namun orang yang bermindset digital meyakini bahwa pemanfaatan teknologi yang tepat akan dapat menunjang pekerjaan dan profesinya. 

Oleh karena itu rasa ingin tahunya dan rasa kepenasarannya (coriosity) terhadap dunia digital senantiasa dirawat. Dia senang mempelajari ilmu baru dan skill baru yang cocok dengan tuntutan zaman. Sebuah zaman yang ditandai dengan ciri khas  speed” dan “kompleksitas” tinggi. Problem hidup  semakin kompleks, tetapi (celakanya) juga menuntut solusi yang lebih cepat. 

“Tidak berhenti sampai di situ. Ciri ketiga dari mindset digital adalah memiliki venturesity. Yaitu keberanian untuk mengeksekusi teknologi baru sehingga menjadi bermanfaat nyata. Istilah orang sekarang: kudu sat-set, cak-cek, harus cekatan,” katanya. 

Waduh, kudu sat-set iki. Matur nuwun pencerahanipun, Prof.

(adrionomatabaru.blogspot.com)

 

Previous
Next Post »