MENIKMATI ULANG ALIK

 

“Berkumpullah dengan orang-orang yang menghargaimu,” begitu kata seorang motivator di kanal Youtube. Saya setuju dengan pendapat itu, meski perlu disertai sedikit catatan. 

Tentu menyenangkan bila bergaul dengan lingkaran orang yang menghargai kita. Karena di dalam habitat kondusif seperti itu kita dapat bertumbuh kembang optimal. Kita mendapat dukungan moral, biasanya juga support material, dan relasi yang menguntungkan. Penghargaan sebagai apresiasi orang lain terhadap kelebihan, prestasi, dan status kita dapat membangun optimisme, kepercayaan diri, sekaligus menghalau rasa minder dari dasar hati. 

Tetapi perlu dicatat, melulu berada dalam suasana diri yang selalu dihargai, dipandang lebih, dipuja-puji ternyata punya jebakannya sendiri. Sebab semua perlakuan “superpositif” itu dapat memompa rasa superioritas. Tanpa sadar jadi merasa lebih hebat dibanding orang lain meski tanpa disertai menepuk dada. Diam-diam terbit sikap jumawa, besar kepala. 

Oleh karena itu ada baiknya jikalau kita juga mau berkumpul dengan orang-orang yang tidak begitu menghargai eksistensi kita. Memasuki kelompok yang berbeda dengan profesi dan keseharian kita. Bergaul dengan komunitas lain, yang membuat kita menjadi orang awam di mata mereka. 

Kiranya ini layak dilakukan agar ingat bahwa kita bukan satu-satunya pribadi yang istimewa. Ternyata masih banyak orang lebih keren di atas kita. Sebab di atas langit masih ada langit. Habitat “negatif” seperti ini setidaknya dalam mengikis rasa superior yang gampang melambung, serta menjadi wahana mendidik diri untuk menunduk berendah hati. 

Saya kerap bergabung dengan sekumpulan dokter yang berbincang tentang kesehatan dengan bertabur istilah medis yang tak saya pahami. Pada kali lain saya juga berada di antara para praktisi dan akademisi bidang konstruksi yang hangat membahas hal teknis mengenai infrastrukur bangunan. 

Tapi saya berupaya menikmati, berusaha tidak minder, meski sesekali saya melontarkan pertanyaan yang terdengar elementer di telinga mereka. Setidaknya dengan berada di lingkungan tersebut dapat menambah wawasan. Meskipun, tidak jarang saya terpaksa tanya di  gugel bila terantuk istilah asing. 

Sekali tempo juga mau nimbrung di lingkungan agamawan, sekalian mempraktikan anjuran lirik tembang jawa “tamba ati”: “wong kang soleh kumpulana”. Kuikuti saja pembicaraan  mendalam disertai  kelakar segar mereka, meski tidak semua materi obrolannya kumengerti. Tetapi lingkungan seperti ini dapat membuat saya makin tahu diri. Ternyata masih fakir ilmuku.  Sangat banyak sikap, perilaku, dan amalan yang perlu dibenahi. 

Ada baiknya mendekati komunitas relawan maupun pekerja sosial. Untuk becermin, betapa tingginya sikap egois kita, betapa masih kapitalistiknya cara berfikir kita. Mereka telah menjalani kebenaran substantif bahwa “memberi lebih membahagiakan dibanding memiliki.” Menjadi bermanfaat bagi sesama adalah pedoman hidupnya. Bukan untuk menjadi orang yang dihargai, dipuji, pencitraan, atau dipandang mulia.  

Bergaul dengan rakyat biasa, pekerja informal, dan tetangga kampung juga penting. Mungkin mereka tidak begitu menghargai status dan kepakaran yang kita sandang, lantaran ketidaktahuan atau memang cuek. Tetapi itu tetap saja baik, demi untuk menjaga kewarasan dan merawat sikap tawadu. Sebab, bukankah kita memang bukan sosok yang hebat-hebat amat di hadapan Sang Maha Hebat?

Di Youtube konten kreator bilang, “berkumpullah dengan orang-orang yang menghargaimu.” Saya sependapat dengan itu, tetapi kadang  kita juga perlu berada di tengah orang yang tak mengenal kelebihan kita.” (*)

Sumber foto: credera

Previous
Next Post »