PILIH JUDES ATAU KONGDE?

  


Kini nama-nama rumah makan kian aneh saja. Semakin melampau kaidah-kaidah marketing yang dulu saya pelajari di  sekolah. Salah satu kaidah yang saya ingat adalah sebuah nama (brand) atau jenama harus membawa kesan baik, berkonotasi positif. Itulah sebabnya lahir papan nama bertulis rumah makan Nikmat, restoran Kondang Rasa, ataupun warung Eco. 

Tapi kini tidak begitu lagi. Kemarin saya makan siang di warung dengan nama yang unik: Sego Sambel Mbok Judes (SMJ) di kawasan Karangrejo, Banyuwangi. Keramahan yang mestinya menjadi keunggulan komparatif justru di sini selling pointnya malah ke”judes”annya. (He he…ternyata yang judes sambelnya). 

Banyak contoh lain yang dapat diutarakan. Di jalan lingkar timur Sidoarjo ada warung yang tega diberi nama warung Rungsep (kumuh). Di Baliwerti Bubutan Surabaya Mbak May pede membuka warung Kongde (bakule bokonge gede). Dan di Sidoarjo barat, mungkin saking judegnya tidak menemukan ide, pemilik warung menuliskan penanda, warkop Gak Duwe  Jeneng.  

Agaknya kini orang gemar yang konyol-konyolan aja. Hidup sudah terlalu berat dengan kompleksitas masalah yang terus menjerat. Maka orang perlu hiburan ringan.  Di daerah Buduran adalah warung Bau Kencur. Ini permainan kata dengan mengembalikan kepada makna denotatifnya. Bau Kencur bukan lagi berarti anak kemarin sore yang belum tahu apa-apa. Di Gresik ada warkop CR1. Apa itu CR1? Ternyata singkatan dari nama pemiliknya: Cak Ri. 

Yang jelas nama-nama rumah makan semakin beragam dengan aneka rasa. Ada yang terkesan berkelas, bergaya pop art, ada juga yang kocak bikin ngakak. Sebut saja kedai Ayam Pelakor, Kopi Sianida, hingga depot Tai Gue. Agaknya ini semua buah dari kreativitas para pelaku UMKM yang didukung dengan kerja terampil tangan-tangan seni visual grafis. 

Jelas semua ini beda dengan penamaan warung zaman lampau. Lazimnya memakai jenama warung Barokah, wr. Lumintu, wr. Lumayan, wr. Pojok, atau wr. Soponyono (kapan ya ada yang berani pakai nama wr. Supratman?). Memasuki zaman branding maka merek seperti itu dianggap tidak kemedol (marketable) dan tidak eye catching lagi. Kiranya setiap zaman punya seleranya sendiri-sendiri. 

Semua nama warung cenderung dibalut dalam cita rasa humor dan harapan agar brandnya menjadi viral. Namun bila dicermati, di balik pemberian nama yang terkesan asal-asalan itu secara tersirat mengekspresikan sikap hidup pembuatnya.  Sebab di balik sebuah nama terselip falsafah. Di sela nama terkandung doa. Nama bukan sekadar penanda tapi mewakili jati diri pemiliknya. 

Kini orang-orang memang sudah tak berminat lagi dengan pesan kesan intrinsik, enggan menyelami kedalaman makna nilai-nilai. Maunya serba gampang, dangkal, dan keren-kerenan saja.  Boleh jadi mereka tidak lagi memahami arti pentingnya barokah sehingga tidak berminat membikin warung bernama Barokah.  Rumah makan padang yang bernama Sederhana pun tampilannya sudah tidak sederhana lagi. 

Jiwa modern yang diam-diam sudah dirasuki prinsip materialis-kapitalistik  pasti malas melirik konsep  rezeki yang “Lumintu” (sedikit tetapi mengalir rutin). Maunya omzet meledak dan income berlimpah dalam sekejap. 

Nama warung “Restu Ibu” agaknya bukan lagi opsi yang recommended lagi, karena anak-anak milenial lebih mengandalkan ilmu bisnis sekolahan, akrobat branding, dan jurus canggih digital marketing, ketimbang mempercayai doa restu ibu kandungnya sendiri.

Monggo marung, Bro. (*)

 adrionomatabaru.blogspot.com




 

Previous
Next Post »