MENIMANG LELA LEDHUNG (Catatan di Hari Ibu)

 

Di Bandar udara Yogyakarta International Airport (YIA) seorang ibu muda sibuk menenangkan putranya yang merengek. Dia kelayu, menangis ingin ikut ayahnya yang hendak pergi naik pesawat. Sang ibu mencoba menyelimurkan, mengalihkan perhatian, buah hatinya dengan mendekati pemain gender yang beraksi di kaki patung bocah angon sapi. Lalu membujuknya dengan melantunkan tembang Jawa Lela Ledhung:

 Tak lela, lela lela ledhung.

Cep menenga aja pijer nangis.

Anakku sing ayu (bagus) rupane.

Yen nangis ndak ilang ayune (baguse).

Kemudian datang wanita berbusana modis duduk mendekat. Mengambil biola dari kotak dan sigap mengiringi alunan nada itu. Si anak pun menjadi tenang bahkan ikut memukul-mukul gender.

Sekelompok calon penumpang yang rebahan di taman jadi tertarik dan bangkit, lalu berangsur bergabung. Ada yang memainkan cello, juga violin. Ada yang menimpali dengan perkusi dan tiupan saksopon. Adegan berikutnya segera bisa ditebak. Itu sebuah pertunjukan flashmob. Pementasan gaya “dadakan” yang sedang ngetren saat ini. Dimainkan dengan bagus oleh grup Royal Orchestra. Dan kita dapat menonton setiap saat di channel Kraton Jogja. 

Meski dikemas dengah sajian orkestra saya masih bisa merasakan sentuhannya. Pesannya masih saja mengena. Apalagi pada bagian intronya, dibuka dengan laras pelog pathet barang, Lela Ledhung masih kental jiwa Jawanya. 

Ini lagu lama dengan lirik bermakna. Berbagai cover dan versi telah dibikin orang dan bertebaran videonya di You Tube.  Sebuah lagu tentang ibunda yang bingung karena anaknya terus menangis padahal sudah digendong selendang batik kawung. 

Eloknya, dalam kerepotan tersebut sang ibu tidak menggunakan hardikan atau pelototan mata untuk membungkam tangis anaknya. Dia lebih memilih menggunakan pendekatan budaya sebagai solusi. Mendendangkan tembang yang menyenangkan, menenteramkan, sekaligus menyuarakan pujian dan harapan.  

Tak gadhang bisa urip mulya.

Dadiya wanita (satriya) utama.

Ngluhurke asmane wong tuwa.

Dadiya pendhekaring bangsa. 

Senandung lembut itu menggumamkan doa. Berharap buah hatinya kelak mendapati hidup mulia dan mengharumkan nama orang tua. Tidak hanya doa “egois”  demi  kepentingan  domestik keluarga semata. Ternyata juga mengandung muatan nasionalisme dengan memohon agar sang anak nanti menjadi pendekar bangsa. 

Sungguh begitu mendengar Lela Ledhung saya jadi teringat kembali dengan emak saya yang sudah wafat. Perempuan teguh yang menghadapi himpitan hidup tanpa mengeluh. Sosok yang selalu menyertai langkahku dengan untaian doa. Dan di setiap kepergianku, diam-diam dirinya menyelipkan di sakuku ribuan restu. 

Membayangkan bahwa isi syair Lela Ledhung itu juga merupakan harapan emak, maka saya jadi merasa masih terbebani. Sebab hingga kini belum tertunaikan sepenuhnya. Saya belum mampu menjadi satria utama yang mengharumkan nama keluarga. Apalagi menjadi pendekar bangsa, sebab saya masih sering menjadi penonton saja. Malah kadang masih tergoda nyinyir mengomentari orang lain yang justru telah berbuat nyata untuk negara dan sesama.   

Meski lirik Lela Ledhung ciptaan Markasan ini demikian apik, bukan berarti tanpa kritik. Dalam lagu itu ada dua larik kalimat bujukan yang khas orang kuno: irasional. Mereka mengendalikan perilaku bocah dengan menakut-nakuti mereka dengan media hantu, mitos, dan gugon tuhon. “Sudah diamlah. Lihat itu, rembulan purnama seperti raksasa menyeramkan. Sedang mencari anak yang menangis.” 

Wis cep menenga anakku.

Kae mbulane ndadari.

Kaya buto nggegilani.

Lagi nggoleki cah nangis. 

Ya, sudah saatnya jurus intimidatif-mistis seperti itu ditinggalkan. Diganti dengan persuasi yang lebih mendidik dan masuk di akal sehat. Anak perlu dipahamkan akan konsekuensi dari segala tindakannya. Setidaknya diselimurkan kegiatan kegiatan yang positif. Tentu bukan dengan cara pintas yang gampangan. Begitu anak rewel sedikit langsung disodori smarphone. “Nih main ini. Sudah diaam!” Si anak pun tertunduk tenang. Terbuai dalam asuhan kasih sayang semu ibunda androidnya.  

Selamat hari ibu. (*)

(adrionomatabaru.blogspot.com)




 

 

Previous
Next Post »