MASKER TOPENG

Dalam sejumlah bencana kita sering tertolong oleh sikap sosial masyarakat, bukan oleh keandalan sistem antisipasi bencana atau strategi perencanaan yang responsif bencana. Sikap sosial itu adalah tingginya semangat gotong royong yang selalu di luar dugaan.

Ini layak disyukuri, meski tetap ndrawasi (rentan). Sebab kegotongroyongan biasanya baru muncul pada waktu bencana terjadi dan pascabencana, serta bersifat insidental sporadis. Jadi, kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan spontanitas dan kebaikan hati semata. Bagaimanapun harus ada manajemen kebencanaan guna meminimalisasi risiko dan kerugian.

Tapi saya tidak hendak bicara soal manajemen. Saya ingin mencatat bahwa gotong royong itu memang dahsyat adanya.  Beberapa hari belakangan ini saya berjumpa dengan orang-orang luar biasa, yang mau peduli, menginisiasi tindakan hingga membawa dampak massif. Bahkan orangnya sendiri tidak menduga bakal berimplikasi sejauh itu.

Inilah Bapak Djoko Kuswanto, ST, M.Biotech, inisiator gerakan massal untuk memproduksi masker topeng (face shield) hari-hari ini.  “Awalnya kami hanya merespons minimnya APD yang dikeluhkan dokter di RS Unair. Membantu membuatkan face shield dengan  menggunakan printer 3D. Perakitannya dan pengepakannya dilakukan secara manual beramai-ramai,” kata Kepala Lab. Integrated Digital Design (IDIG), Departemen Desain Produk, Fakultas Desain Kreatif dan Bisnis Digital, ITS Surabaya itu.
Kemudian produksi makin berkembang karena mereka menggandeng Asosiasi Printridi Indonesia Cabang Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Tangerang, hingga Jakarta. Juga karena unggahan status ke media sosial. Tenaga relawan yang membantu juga tidak sedikit. Sekitar 40 sampai 50 orang bergabung setiap hari di Dispro ITS. Mereka berasal dari unsur Sekretariat Bersama Relawan Penanggulangan Bencana (SRPB) Jatim, mahasiswa, pramuka, hingga masyarakat yang peduli.
Tetapi mereka tetap kewalahan. Kapasitas sebuah printer 3D dalam mencetak satu alat pelindung wajah itu butuh waktu satu jam. Kerja keroyokan tersebut baru menghasilkan 500 buah per hari, padahal permintaan dari fasilitas layanan kesehatan di sejumlah daerah sudah melambung 310 ribu buah lebih.
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak datang turun tangan. Memberikan dukungan serta menarget Dispro ITS agar meningkatkan produksinya hingga 1.000 biji per hari. Alhasil dengan menggunakan mesin CNC router/laser cutting diciptakanlah mesin plong untuk mempercepat kerja.
Lima pola desain face shield dibuat ITS kemudian diunggah ke dunia maya. Berkat open sources inilah  produksi dapat dipacu keras, bahkan menjadi gerakan massal dan massif. Semua UMKM dapat membuat secara mandiri dengan mudah dan murah di mana saja.
“Ini cukup fenomenal, karena kemudian menjadi gerakan nasional. Sejak Mei sampai sekarang sudah dibuat sekitar 200 ribu face shield dan diserahkan ke fasyankes di 25 provinsi. Di dunia ini tidak ada industri alat kesehatan yang mampu memproduksi face shield sebanyak itu,” katanya.

Apa tidak ingin mematenkan produk itu? Pak Djoko menggeleng. Tampaknya dia memang bukan pedagang. Dirinya mengaku sudah senang bisa inovasinya dapat dikerjakan oleh UMKM dan memberdayakan masyarakat. Jangan tergesa divonis naif, sebab boleh jadi justru ini sikap jenius. Sebab dirinya bakal menerima keuntungan yang tidak terkira. Keuntungan berlipat secara eksponensial dan berkelanjutan itu, dalam bahasa agama, disebut pahala amal jariyah. (*)

(adrionomatabaru.blogspot.com)

(Catatan di sela proses penulisan Buku “Sejarah  60 Tahun ITS”)



Previous
Next Post »