Bahagia
adalah kata yang paling mudah dipahami dan sekaligus paling sulit dimengerti.
Dia konkret sekaligus misteri. Lihatlah, setiap saat banyak orang menulis status
di medsos “bahagia itu sederhana” lalu disertai dengan foto menyedu wedang kopi
atau memberi makan ikan koi. Sementara banyak pula orang juga tak kunjung
merasa bahagia meski di mata orang lain dia telah memiliki segala prasyarat
yang dibutuhkan untuk berbahagia.
Demi
untuk memahami kebahagiaan, lalu orang mendekati dari berbagai perspektif mulai
ekonomi, psikologi, neurologi, hingga kajian agama. Salah satu sudut pandang
menarik adalah pendekatan psikologi positif, yang kemarin diwedar oleh Drs. Asep
Haerul Gani (Kang Asep) lewat forum pertemuan daring dalam acara Kajian Ahad
Malam, yang rutin digelar Bapak Dr. Sulthon Amien, MM.
Saya
beruntung dan berbahagia dapat turut menyimak presentasi itu. Dalam paparannya psikolog
dari Universitas Indonesia itu menyampaikan bahwa kebahagiaan itu adalah dua
jenis. Seraya mengutip pendapat pakar-pakar psikologi Martin Seligman dan Christoper Peterson,
disebutkan ada kebahagiaan hedonistis dan kebahagiaan autentik (authentic happines). Ini tema menarik,
sebab ternyata banyak orang-orang modern hanya terjebak kepada happiness jenis yang pertama.
“Kebahagiaan
hedonis itu bersifat kapitalistik, membutuhkan syarat kepemilikan kapital.
Orang mengira akan bahagia kalau punya rumah, mobil, juga istri cantik,” kata human
capital coach dan master trainer ini. Tetapi belakangan hari akhirnya terbukti,
setelah memiliki semua itu, mereka mengeluh tidak kunjung bahagia. Ya, sebab hedonis happiness itu kesenangan yang semu.
Dan butuh banyak uang dan kekuasaan untuk memperolehnya.
Beda
dengan jenis kebahagiaan autentik, yang dalam banyak hal ternyata tidak selalu
berkaitan dengan kepemilikan dan kesuksesan. Orang dapat saja menjadi bahagia tanpa
peduli dengan situasi yang dialami. Maka kesengsaraan tidak selalu menjadi
lawan kata dari kebahagiaan, sepanjang orang yang bersangkutan menyikapinya
dengan cara yang beda.
“Di
sinilah diperlukan adanya karakter positif. Orang-orang yang hidup dalam charater strengths yang kuat dia
cenderung lebih mudah mendapatkan kebahagiaan autentik,” kata Pengasuh Pondok
Pesantren Psikoterapi di Saung Bujangga Manik Tasikmalaya ini. Berdasar
referensi, karakter positif itu banyak sekali di antaranya keteguhan hati,
keberanian, kesederhanaan, integritas, ketekunan, cinta kasih, kreativitas, atau
rasa syukur.
Maka
Kang Asep punya tiga pertanyaan yang dapat diajukan kepada masing-masing diri
dalam upaya menggapai kebahagiaan. Pertama,
apa charater strengths yang Anda punyai?
Kedua, apa pengalaman hidup yang Anda pandang sebagai
keberhasilan? Ini berarti ngomong tentang kekuatan diri. Ketiga, apa kelemahan diri
Anda? Misalnya suka marah atau kurang
disiplin.
“Setelah
berhasil mengidentifikasi tiga poin tersebut, maka tugas kita adalah
mengembangkan karakter positif itu secara optimal. Jangan terlalu mengurusi kekurangan
diri. Dengan demikian kita lebih berpeluang untuk mendapatkan kebahagiaan
autentik,” katanya.
Akhirnya
kebahagiaan itu juga berkaitan dengan dimensi waktu: kemarin-kini-nanti. Orang
yang tidak puas dan selalu menyesali masa lalunya, akan sulit merasakan
bahagia. Dia perlu berdamai dengan problem lampaunya. Demikian juga dengan masa
kini. Orang perlu merasa “berada di sini sekarang” (here now). Bila selalu menyatu dengan kekinian maka orang akan
dapat menikmati hari-harinya dengan penuh gembira. Bukankah banyak kita jumpai orang
yang kelihatannya melakukan aktivitas tertentu, tetapi sebenarnya pikiran dan hatinya
tidak sedang di situ?
Sedang
kebahagiaan yang menyangkut masa depan adalah bicara tentang optimisme. Orang
yang berpengharapan adalah orang yang memandang hari esok selalu cerah. Orang boleh
saja menyebut Surabaya dan Sidoarjo sebagai zona merah covid-19. Tetapi itu
tidak boleh dijadikan alasan untuk pesimistis dan kehilangan asa untuk bahagia.
Semoga
Sampeyan semua berbahagia. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon