Dalam banyak hal, watak dan kepribadian kita
ternyata tergambar dengan gamblang lewat lirik-lirik lagu campursari, yang lagi
hit saat ini. Pribadi yang tegar
menghadapi kenyataan hidup meski agak melankolis. Watak yang lentur menyelaraskan
diri, bahkan dalam kondisi yang begitu kontradiktif. Bisa ketawa di saat
susah.
Individu yang tak begitu peduli makna lirik, sing
penting asyik. Atau jangan jangan kita mulai kurang empati terhadap derita
orang lain. Telah terbiasa dengan ketidaksesuaian antara kata dengan perbuatan.
Simaklah, bagaimana semua orang bisa tertawa riang,
berjoget, makmum bernyanyi, mengikuti Lord
Broken Heart Didi Kempot, yang justru melantunkan ratapan hati lantaran dipameri bojo anyar :
Dudu klambi
anyar sing neng njero lemariku
Nanging bojo
anyar sing mbok pamerke neng aku
Dudu wangi
mawar sing tak sawang neng mripatku
Nanging kowe
lali nglarani wong kaya aku
Nengopo
seneng aku, yen mung gawe laraku
Pamer bojo anyar
neng ngarepku
Dalam bersikap pun kita ini sangat khas. Suka
malu-malu meong. Pada mulanya enggan mengaku tidak suka, tidak tahunya doyan
banget. Saya mengamati beberapa kali. Ini terjadi dalam acara gathering, pertemuan
organisasi, louching produk, sosialisasi,
hingga pesta mantenan.
Pada awal-awalnya, penyanyi selalu menghadirkan lagu-lagu
mancanegara. Seolah untuk menegaskan tingginya strata sosial ekonomi dan bermutunya
selera sang penyelenggara acara. Orkestrasi musik yang dilengkapi lengkingan saksopon
seakan hendak memberi kesan sajian yang hight
class. Tetapi perhatikanlah bagaimana respons undangan dan peserta acara.
Mereka menyambut dengan biasa-biasa saja. Malah sebagian besar tak hirau, tetap sibuk ngobrol sendiri-sendiri.
Tetapi begitu diluncurkan lirik lagu jawa Ilux,
dengan entakan kendang koplo yang rancak. Semua mata menoleh ke panggung.
Segera beberapa orang maju mendekat panggung, menggoyangkan pinggul seraya
melontarkan senggakan... hak-ee...hak-ee...hak-ee:
Aku mundur
alon-alon, merga sadar aku sapa.
Mung digoleki
pas atimu perih....
Nah kan
ketahuan selera aslinya. Makanya kadang saya suka membatin, “kalau persembahan musik
itu memang bertujuan agar suasana acara menjadi hidup dan gayeng, kenapa tidak sejak tadi digebrak dengan campursari? Pasti
sobat ambyar akan heboh. Dijamin suasana langsung marak.
Agaknya diam-diam kita masih terjangkiti penyakit minder
kolektif, warisan dari bangsa yang lama terjajah. Kerap kurang pede untuk menampilkan
eksistensi diri. Lalu, demi amannya, kita memilih berpenampilan dan bergaya seperti
orang lain, mengacu kepada kelas sosial yang lebih tinggi. Mungkin cara itu
dapat sedikit mendongkrak gengsi, padahal acapkali yang terjadi justru kelucuan
yang naif dan agak norak.
Sesungguhnya kita ini diciptakan sebagai makhluk
yang unik, punya potensi dan karakter tersendiri. Kita ini selalu sukses
mengatasi segala problem hidup betapapun ruwetnya. Dan itu tergambar jelas dalam
banyak lirik langgam campursari, juga lagu dangdut koplo.
Ujaran “Kuwat
dilakoni, nek gak kuwat ditinggal ngopi” (Via Vallen - Bojo Galak) adalah jurus pragmatis yang sangat ampuh untuk
menangkal stres urusan rumah tangga maupun segala himpitan ekonomi.
Lagu Pikir
Keri yang berbunyi “Yen gelem tak jak rabi. Yen ra gelem tak jagongi. Sing ra penting pikir keri.”
bukanlah sekadar celetukan. Tetapi kristalisasi dari sikap seseorang yang hidup
di tengah rendahnya kadar kepercayaan dan memudarnya kesetiaan antara pria dan
wanita.
Konon, pribadi yang
dewasa ditandai dengan sejauh mana dia berani menjadi diri sendiri. Bahkan
psikolog Carl Rogers menegaskan, hanya satu tujuan hidup yaitu menjadi manusia
yang utuh, yang mewujudkan diri sepenuhnya.
Menurutku, kaidah itu bukan cuma berlaku di dunia psikologi tetapi juga
sosiologi. Keberanian menjadi diri sendiri tidak hanya untuk individu, tapi
juga bagi suku, bahkan bangsa. Suku Jawa ataupun suku lainnya perlu eksis
dengan segala lokalitas yang dimiliki. Bangsa Indonesia perlu bangga dengan identitas
bhineka nusantaranya.
Jadi, bernyanyilah dalam bahasa daerahmu. Karena,
pada akhirnya bahasa daerahlah yang paling mewakili suara hati. Anak perempuanku,
generasi milenial, yang tempo hari sangat gandrung dengan lagu-lagu Korea, kini
tidak malu lagi menyenandungkan refrain
tembang viral “Kartonyono Medot Janji”
karya Denny Caknan:
Mbiyen aku jik
betah, suwe-suwe wegah.
Nuruti
kekarepanmu, sansaya bubrah.
Mbiyen wes
tak wanti-wanti, aja ngasi lali
Tapi kenyataannya
pergi.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Foto: hotinfo.web.id, liputan6.com, nusabali.com, detik.news.
Sign up here with your email
1 comments:
Write commentsUntuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
Replydimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||
EmoticonEmoticon