MENOLONG PUN ADA ILMUNYA



 Suka menolong tentu perbuatan terpuji. Tetapi kebiasaan cepat menolong, tanpa dibarengi dengan pengetahuan dasar yang memadai, kadang justru bisa berakibat buruk. Kebiasaan masyarakat kita yang segera bergegas menolong bila ada korban kecelakaan lalu lintas yang terkapar di jalan raya, layak diapresiasi. Tetapi seyogyanya mereka perlu memahami  tentang risiko dari perbuatan mulianya, bila dilakukan secara serampangan.

Lihatlah, begitu “DUUARR..!!”  terjadi kecelakaan, biasanya orang-orang langsung merubung, lalau beberapa orang langsung berinisiatif mengangkat korban ke pinggir jalan. Tidak lupa segera memberi minum dengan air putih, entah siapa dulu yang memulai, dan entah apa tujuannya.  Padahal dua perbuatan spontan itu justru bisa memperparah kondisi korban lalin. Jadi pada prinsipnya, memindahkan korban kecelakaan seharusnya dilakukan secara hati-hati.

Bila kita kebetulan menghadapi korban kecelakaan lalin. Maka yang harus dicermati dulu adalah kondisi korban.  Dia masih sadar atau sudah pingsan? Segera lakukan pengecekan dengan cara sederhana, panggillah namanya, kemudian segera tanyakan kondisi leher, tangan, dan kakinya.

“Pak..pak.. namanya siapa? Oke tenang. Bapak akan saya tolong. Ikuti perintah saya ya Pak. Bagaimana lehernya ada rasa nyeri? tangan kebas, griggingen?”  Bila dia menjawab ada rasa nyeri atau kebas, besar kemungkinan dia mengalami cedera leher. Untuk kasus demikian relawan dianjurkan tidak mengangkat korban, agar posisi lehernya tidak bergerak-gerak.

Kesalahan fatal bisa saja terjadi pada saat mengangkat korban atau pada saat melepas helmnya, bila tidak tahu caranya. Maka yang dapat dilakukan relawan adalah melakukan stabilisasi posisi kepala korban saja. Misalnya dengan memberi benda di kiri kanan kepalanya agar dalam posisi stabil, sambil menunggu tim medis datang. Benda itu bisa tas, batu bata yang dibungkus jaket agar empuk, atau pasir yang dibungkus tas kresek.

“Korban juga jangan memberi minum. Sebab itu tidak ada gunanya. Bahkan dia bisa tersedak. Bahaya,” kata dr Ayuningtyas. Ditambahkan, bila menemukan pasien pingsan dalam kondisi tubuh dan kelapa miring ke jalan, tidak usah dibaringkan, sebab hal itu justru dapat membahayakan pasien. Dikhawatirkan bila ada cairan di mulut dan leher korban, maka cairan tersebut dapat masuk menyumbat saluran pernafasan.

Soal penanganan helem korban juga ada  tata caranya. Prinsipnya: tidak semua kasus kecelakaan, helem harus dicopot. Bila dinilai hanya akan memperparah keadaan maka helem tidak perlu dilepas. Untuk helem teropong, yang sudah rapat membungkus kepala, malah tidak dianjurkan dilepas. Buka saja kacanya agar dia dapat menghirup udara, sambil menunggu  tim medis datang.

Bila harus melepas helem, sebaiknya dilakukan oleh dua orang penolong. Satu orang bertugas sebagai pelepas helem dengan hati-hati, sedang satu orang lagi membantu menyangga stabilitas posisi leher korban agar tidak sampai tertekuk atau bergoyang-goyang. Begitu helem lepas, berikan bantal darurat dengan ketinggian yang sama dengan saat dia mengenakan helem tadi.

Yang jelas, semangat menolong masyarakat umum memang harus tetap dipertahankan, tetapi seyogyanya mereka diberi bekal pengetahuan dasar secukupnya. Maka saya salut dengan kegiatan yang dilaksanakan para dokter dari Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unair, Sabtu (23/10). Mereka menggelar Pelatihan Prehospital Trauma Care untuk Penolong Awam pada Kecelakaan Lalu Lintas di gedung Anestesi lantai 7 RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Ini merupakan event kali pertama. “Jika setelah dievaluasi nanti ternyata positif dan banyak manfaatnya, nanti akan dilakukan pelatihan lagi yang lebih masif,” kata dr Pratama Ananda,  koordinator pelatihan.

 “Ini acara penting dan menarik. Banyak ilmu baru di dalamnya. Walaupun di lapangan  kejadiannya nanti bisa lain, orang jadi lupa prosedur SOP-nya karena kejadiaannya mendadak dan gupuh harus melakukan apa,” kata seorang peserta, Edi Basuki, dari komunitas Gerakan Sadar Bencana Surabaya.

Dokter Airi Mutiar, penggagas pelatihan ini menginformasikan, respons time pada kecelakaan lalin di Surabaya mencapai 7,5 menit. Artinya, pada setiap kecelakaan, respons petugas datang ke TKP butuh waktu rata-rata 7,5 menit. Angka ini tergolong baik, karena masih  di bawah angka 10 menit, meskipun realitasnya angka kematian masih tergolong tinggi.

“Oleh karena itu kita perlu melibatkan orang awam. Memaksimalkan bantuan. Dalam rentang nol menit sampai  tujuh setengah menit masih ada kemungkinan korban meninggal. Nah, di situ peran orang awam yang terlatih, sehingga mereka dapat melakukan sesuatu yang tepat,” katanya.

adrionomatabaru.blogspot.com

Sapa: bambang bes, retno, isna, diena, agus anang, eny, dyan, irwan

Previous
Next Post »