CURHAT KELUARGA PREMATUR



Berkumpul dengan orang senasib, bisa menimbulkan efek saling menguatkan. Berbagi cerita dengan sesama, bisa mengurangi beban derita. Kiranya itulah yang terjadi dalam pertemuan komunitas keluarga yang memiliki bayi prematur (Parent with Premature Infant atau PRIMI) di FK Unair, kemarin.  

Secara bergantian mereka tampil menceritakan pengalaman memiliki bayi prematur. Yang menarik, di antara yang memberi testimoni ternyata ada yang berasal dari kalangan dokter anak dan perawat sendiri. Agaknya, ini semacam ujian  konkret bagi profesi mereka.

Dokter Bangkit memaparkan suka dukanya merawat anaknya yang lahir prematur dengan berat badan hanya 900 gram. Maka bayinya harus tinggal di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) sementara waktu. Begitu bayinya dirawat di rumah, mendadak muncul masalah baru. Bayinya sempat berhenti nafas sehingga dia harus pontang-panting lari ke rumah sakit untuk mencari pertolongan.

“Saya ini dokter anak. Tetapi ternyata mengasuh anak preatur tidak semudah seperti yang tertulis dalam buku-buku teori. Kami cepat-cepat ke rumah sakit. Istri saya yang nyetir mobil. Saya yang memberi nafas buatan untuk bayi saya,” katanya mengenang.  

Lewat berbagi cerita seperti itu maka akan diperoleh banyak pengetahuan praktis, dan pengalaman, penguatan mental. Peserta menjadi paham ternyata ada istilah “lupa nafas” (sleep apnea), yaitu kondisi bayi berhenti tidak bernafas beberapa saat, justru ketika sedang tidur pulas.

“Kalau pakai alat akan kelihatan grafiknya. Bergerak di angka 100 atau 90 persen naik turun. Kalau bayinya lupa nafas grafiknya langsung turun. Kalau sudah begitu, saya goyang-goyang badan anak saya, lalu dia bernafas lagi,” kata Daniel mengisahkan pengalamannya.

Dokter Mahendra Tri Arif Sampurna Sp.A., salah satu inisiator komunitas PRIMI menjelaskan,  saat ini, setelah bayi lulus dari ruang NICU RSUD Dr. Soetomo, belum ada yang  mewadahinya. Sehingga kontrol untuk tumbuh kembangnya bisa lose. Dengan adanya PRIMI maka bisa dilakukan pengawalan.

“Bayi prematur adalah kelompok rentan, karena prematuritasnya terjadi di ujung rambut sampai ujung kaki. Mereka bisa mengalami cedera otak dengan komplikasi jangka panjang. Mata juga punya  risiko buta, telinga punya risiko tuli lebih tinggi. Rentan terhadap gangguan alergi, pencernaan, hingga risiko infeksi di kemudian hari,” katanya.

Oleh karena itu orang tuanya dibekali dengan pengetahuan praktis sehingga dapat melakukan deteksi intervensi dini jika ada masalah.   (adrionomatabaru.blogspot.com)

Previous
Next Post »