Berbincang dengan ahlinya tentu akan beda muatannya.
Walaupun “hanya” bicara soal kampung, tapi bila yang menjabarkan Prof. Ir.
Johan Silas, maka yang terungkap justru sejumlah hal substansif tentang
eksistensi sebuah kota.
Pakar tata kota senior ini meyakini bahwa kampung
adalah aset besar kota, makanya jangan diusik, apalagi digusur. “Bila perencana
kota salah langkah dan keliru standar, maka kampung bisa habis. Bila kampung
habis, roh kota dan budaya kita ikut habis,” ujarnya kepada saya dan Mas Diyan
Lesmana dalam perbincangan di Lab. Perumahan dan Permukiman, ITS, Surabaya.
Menurutnya, sebuah kota itu haruslah punya budaya.
Kalau tidak punya budaya akan kalah bersaing. Yang menjadi pertanyaan: budaya itu berkembangnya di mana?
Tidak mungkin di real estate, apartemen, dan mall. Budaya itu ada yang ngemong, lha yang ngemong itu manusia. Jadi budaya itu menjadi hidup karena
dipakai. Surabaya
terkenal dengan budaya “arek” yang
bersifat egaliter, terbuka, guyub, rame tapi bersahabat, tak ada
rasa sakit hati. Nah, budaya seperti ini hidupnya di mana? Adanya ya di kampung.
Beliau memberi contoh kesalahan
perencanaan kota yang bisa berakibat fatal.
Di Jakarta, misalnya, terjadi kekeliruan memakai standar, di antaranya,
jalan di kampung dibuat lebar agar mobil bisa masuk. Maka dalam waktu singkat, rumah-rumah kampung di sana dibeli oleh warga kelas menengah. Dua atau
tiga rumah kampung
dibeli sekaligus lalu dijadikan satu rumah besar. Maka dalam tempo tiga sampai
empat tahun kampungnya habis. Di Surabaya beda. Kita waktu itu bersikeras agar
jalan kampung tidak boleh diubah menjadi jalan mobil.
Apalagi pola hidup ala kampung itu kini justru
tengah dirindukan kembali oleh negara maju. Dunia sekarang tengah
mencita-citakan kawasan perumahan yang membentuk “neighbourhood”, semacam rukun warga (RW) yang sudah ada di
kampung-kampung kita. Sebaliknya, di Indonesia,
banyak dari rumah kita yang tidak punya neighbourhood,
tidak banyak kesempatan tetangga ketemu
tetangga. Pagarnya tinggi-tinggi, keluar masuk rumah pakai mobil pula.
“Di negara-negara barat desainnya sudah berubah.
Saya lihat di Perancis, perumahan dibuat
sedemikian rupa sehingga antartetangga ada alasan untuk saling bertemu. Banyak
rumah yang memakai konsep kuldesak. Kuldesak itu kalau di kita namanya gang
buntu. Di ‘kul’ itulah dijadikan tempat untuk saling bertemu,” katanya.
Di Jepang bahkan pagar sudah ditiadakan. Mobil
masuknya dari belakang rumah. Bagian depan rumah menjadi taman besar. Di
sanalah warga berjumpa. Dengan begitu tak terdengar lagi omelan emak-emak yang cemas,
sembari menggembok pagar: ”Ayoo masuk rumaah..!!, jangan main di luar, banyak
mobil, banyak motor!”
Pak Silas saat membuat desain kawasan kota Kuala
Kencana, Papua, juga menerapkan pola seperti itu. Jalan kota diutamakan untuk
pejalan kaki dan pengendara sepeda,
pengendara mobil harus muter. Jalan
ditata sedemikian rupa, sehingga jalur untuk mobil tidak di depan rumah, tapi
di belakang rumah. Jadi nanti orang akan malas beli Mercedes karena parkirnya di dapur. Gak bisa pamer. “Ibukota baru nanti, menurut saya, perlu mempertimbangkan
konsep-konsep seperti ini.”
Sungguh, berbincang dengan sang suhu sangat
mengasyikkan. Semoga beliau tetap diparingi kesehatan dalam usianya yang ke-83
tahun ini. Sehingga tetap dapat memberikan kontribusi pemikiran yang positif
dan brilian bagi kebaikan bersama. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sapa: Pak Irwan, Satria ak Arif, Supri Tyanto, Bu
Diena, Bu Emy.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon