OKOL VS AKAL



“Okol iku kalah karo akal.”  Itu ucapan bapak saya, seorang perajin dan penjual cetakan kue dari desa. Bagi pembaca nonjawa, ungkapan itu bisa saya terjemahkan secara bebas sebagai berikut:  otot atau fisik itu akan kalah dengan akal, otak, atau kreativitas.  Bapak saya sedang bicara tentang pekerjaan.

Bapak Aderi bilang, pekerjaan yang hanya mengandalkan otot semata umumnya sangat menguras tenaga dan bayarannya murah. Contohnya kuli atau tukang becak. Beda dengan pekerjaan yang menggunakan akal atau kecerdikan. Lihat itu pedagang mainan. Mereka bikin senapan dari gelagah tebu atau kitiran dari botol bekas, lalu dijual di sekolah TK atau SD. Kerjanya tidak berat, hasilnya juga lebih banyak.

Semula saya menganggap bahwa okol kalah karo akal adalah pendapat sederhana. Namun belakangan saya menyadari bahwa motto itu ternyata cukup visioner, setidaknya hingga era revolusi  industri 4.0 ini masih punya relevansi. Bergaungnya konsep ekonomi kreatif yang tengah didengung-dengungkan pemerintah dewasa ini, nyatanya juga selaras dengan ucapan lawas bapak saya.

Zaman ekonomi klasik dulu, faktor-faktor produksi yang utama adalah tanah, tenaga kerja, dan modal.  Kini tidak harus seperti itu. Justru kreativitas menjadi faktor produksi penentu. Apalagi jika dipadu dengan penguasaan teknologi dan informasi. Amerika mengeruk keuntungan amat besar karena mengekspor produk-produk ekonomi kreatif, di antaranya film dan musik. Berapa pendapatan yang mereka sedot dari meledaknya film Avenger End Game secara gila-gilaan di semua gedung bioskop negeri ini?

Ya, produk-produk berbasis kreativitas tampaknya akan kian prospektif di masa mendatang.  Di kampung saya kini bertebaran pedagang kuliner siap saji. Berbagai kreasi makanan dikembangkan. Ada tahu walik, bakso beranak, rangin rasa-rasa, mie nyonyor, sego njamur, hingga bebek belur. Apapun jenis maminnya, ayam geprek, sosis ndoweh, kebab, kopi kolonial, es kepal, sinom, wedang uwuh dll, yang menarik adalah packagingnya.

Kemasan selalu dibuat dalam desain keren hingga menimbulkan citra positif bagi yang memegangnya. Cermati juga rombongnya, kiosnya, selalu tampak ciamik, bahkan instagramable. Di balik semua tampilan itu pastilah ada sentuhan tangan-tangan kreatif anak desain grafis yang bekerja.

Nah, sudahkah kita bekerja dengan akal cerdik, hari ini? (*)


Previous
Next Post »