GAMPANG BLANK



Saya tengah berupaya melawan lupa, menolak lupa. Tapi ini bukan narasi besar tentang kematian Munir, Udin, atau hilangnya sejumlah aktivis mahasiswa di masa lalu. Apalagi tentang amnesia massal terhadap sejarah bangsa.  Bukan. Ini cuma soal keseharian, hal-hal “kecil” yang kadang bikin sebal.

Ya, akhir-akhir ini saya gampang lupa. Lalian. Lupa naruh kunci hingga lupa menyimpan file foto.  Mungkin ini yang disebut PDI alias Penurunan Daya Ingat. Di usia yang sudah seabad lewat, saya kerap terganggu dengan memori.  

Yang agak mengganggu adalah lupa rakaat. Di tengah shalat saya kerap diganggu ragu: ini tadi rakaat ke tiga apa ke empat ya? (Apa sampeyan juga pernah mengalami?). Malah yang agak aneh, saat mengusapkan handuk ke dahi, pikiran diusik rasa gamang: saya tadi sudah wudhu apa belum ya? Bukankah peristiwa wudhu barusan terjadi semenit yang lalu? Kok seperti tidak berkesan sama sekali ya?

Boleh jadi itu gangguan syaiton nirrojim. Sebab saya pernah dengar Pak Quraizh Shihab menjelaskan seperti itu. Oke, mungkin ada benarnya, karena kita tengah beribadah maka setan bersikeras menggodanya.

Tetapi dalam hal-hal yang keseharian, kok juga bisa blank seperti itu. “Ini tadi sudah sabunan belum ya?” Lalu kucium lengan kananku, meruap aroma sabun, hem berarti sudah.

Yang repot adalah lupa pada nama orang. Ini cukup memalukan. Saat bertemu teman, pikiran bekerja keras untuk mengingatnya tapi tak kunjung dapat. Tapi begitu dia pergi, tahu-tahu nama itu menempel di lidah.

Apalagi kalau sudah berurusan dengan memori numerikal, dari dulu saya agak susah mengingat angka-angka. Pelat nomor kendaraan, nomor pin, harga BBM, hingga harga aneka mie instan, tidak pernah hafal di luar kepala. Untuk tahu HUT anak dan isteri, harus tengok kartu KK dulu (ter-la-lu, kata Bang Rhoma).

Tapi kalau tanggal kelahiran anak sulung, saya hafal. Tanggal 26. Karena itu adalah tanggal gajian di Surabaya Post. Dia lahir persis setelah saya memegang amplop gajian bulan Agustus (jaman itu belum musim  transfer bank).  

Agaknya perlu ada kesan tententu agar ingat pada sesuatu. Kata pakar neorologi, otak lebih suka mengingat kesan ketimbang data.  Kita mengingat, bahkan dengan mendetail, suasana jumpa pertama dengan pasangan kita. Ingat warna bajunya, senyum kikuknya, hingga atmosfir sekitarnya, tetapi kita lupa tanggal kejadiannya.

Lalu seorang teman dosen mengajarkan teori jembatan keledai. Saya diminta menempelkan kesan pada sesuatu agar dapat tersimpan ke dalam memori jangka panjang.  Bila punya kawan bernama Tommy Hartana, kebetulan wajahnya putih, maka tempelkan saja nama itu kepada sosok Tommy Soeharto.

Tapi trik asosiatif seperti itu ternyata tidak banyak membantu.  Kalau sudah lupa ya lupa. Apalagi mengingat nama sesama kaum laki-laki, banyak lupanya dibanding ingatnya. Beda bila dengan lawan jenis, apalagi cantik, kok ya langsung ingat nama sekaligus alamat rumah dan nomor hapenya. Ah, ingatan ternyata cenderung “bias gender” juga ya.
Ada tips lain untuk mencegah kepikunan, yaitu perbanyak mengasah otak, misalnya dengan mengisi teka teki silang atau bermain catur. Masalahnya, saya sekarang sudah jarang baca koran minggu dan tidak kerasan main sekak. Anda punya tips lagi untuk saya?

Walhasil saya berupaya melawan lupa sebisa saya. Untungnya, kelupaan itu itu belum sampai mengganggu kehidupan saya. Hingga kini saya belum lupa dengan tanggungan utang  yang harus diangsur. Dan saya juga masih sangat ingat bila habis “diparingi” oleh isteri  hehehe...(*)

Previous
Next Post »