Ditargetkan tahun 2019 seluruh penduduk Indonesia
menjadi peserta BPJS. Sehingga akan tercapai Universal Health Coverage (UHC) yang menjamin akses layanan
kesehatan bagi seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin. Bisakah canangan
ini diraih?
Jumat lalu saya berkesempatan mengikuti seminar menarik
tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Aula FK Unair, Surabaya. Menarik
karena topik JKN tidak pernah sepi dari masalah, dan narasumbernya berasal dari
parapihak terkait. Berikut catatan saya seusai mengikutinya.
Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan per 1 November 2018 tercatat, sebanyak 205.071.003 jiwa (78,9%
penduduk) telah menjadi peserta JKN dan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Ini berarti
perlu kerja keras lagi untuk meningkatkan cakupan kepesertaan, khususnya di
sektor informal, agar tercapai target 100% di tahun depan.
Dalam sistem JKN terdapat tiga pihak yang terkait yaitu
BPJS Kesehatan, Fasilitas Kesehatan (rumah sakit), dan peserta JKN. Dalam
kenyataannya, pada masing-masing pihak itu terdapat sejumlah masalah.
Pihak Faskes (baca: rumah sakit) mengeluh karena
tagihan ke BPJS sering terlambat pencairannya. ”Berdasar aturan, BPJS membayar
rumah sakit seharusnya paling lambat 15 hari. Faktanya, kadang lebih dari 30 –
60 hari rata-rata,” kata Dodo Anondo, dr,MPH, selaku Ketua Persatuan Rumah
Sakit Indonesia (PERSI) Jatim, menyuarakan
aspirasi PERSI.
Ditambahkan, RS dengan 90% proporsi pasiennya BPJS,
akan mengalami gangguan cash flow
yang menyulitkan operasional. RS yang tidak bisa membayar vendor dan akan kena lock. Padahal pembayaran ke vendor jangka
waktunya sekitar 30-45 hari, paling lama 60 hari.
Belum lagi tentang tarif paket Indonesian Case Based Groups (INA CBG) yaitu besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjutan (FKRTL) atas paket layanan yang didasarkan kepada
pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. Paket INA
CBG dinilai PERSI belum mengakomodasi pasien dengan
komplikasi ataupun yang memerlukan tindakan subspesialistik canggih.
Pada sisi peserta BPJS juga tidak sepi dengan
masalah. Mulai dari kualitas layanan yang dirasa belum sesuai harapan, hingga
sistem rujukan online yang justru
membuat pasien kerepotan. Masih terjadi kesulitan peserta untuk mengakses
pelayanan kesehatan sesuai indikasi medis dan domisili. Panjangnya mata rantai
rujukan berpotensi meningkatnya angka kecacatan dan kematian serta meningkatnya
biaya yang dikeluarkan peserta BPJS.
Sementara pihak BPJS sendiri juga mengalami kendala,
antara lain pembayaran iuran dari peserta BPJS yang belum tertib, beban
pembayaran manfaat masih lebih tinggi dibanding penerimaan iuran sehingga
setiap tahun BPJS masih mengalami masalah keuangan.
Kesenjangan
Tinggi
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, dr
Tri Hesty Widyastoeti, Sp.M, MPH, mengakui, dalam perjalanan program JKN masih
terdapat sejumlah tantangan yang harus hadapi. Di antaranya, kepesertaan JKN
belum optimal, beban pembiayaan masih
besar terutama pada penyakit katastrofik, maldistribusi kompetensi fasilitas
kesehatan, pemanfaatan kompetensi fasilitas kesehatan yang belum optimal, dan pencegahan
kecurangan belum optimal.
“Infrastruktur dari fasilitas kesehatan sekarang
ini cukup memadai. Tapi, bila melihat geografi negara kita yang sangat bervariasi,
banyak kepulauan dengan penyebaran penduduk yang tidak merata, maka masih dibutuhkan penambahan fasilitas kesehatan,” katanya.
Menurutnya,
saat ini perlu ada kebijakan pengaturan distribusi tenaga kesehatan yang lebih baik, terutama tenaga spesialis. Perlu juga penataan yang lebih
fokus pada upaya pelayanan tingkat pertama dengan mengedepankan upaya promotif
dan preventif agar sedapat mungkin penyakit-penyakit yang ada dapat diselesaikan
di tingkat pertama, dengan menjalankan sistem rujukan secara
benar.
Sistem rujukan berjenjang memang dibuat untuk
mencapai keteraturan tata kelola layanan. Namun sistem ini membawa dampak
ikutan yang tidak diinginkan. Salah satunya, Rumah Sakit kelas A dan B (yang
merupakan RS Pendidikan) mengalami penurunan jumlah pasien secara signifikan. “Hal
ini dapat menghambat mahasiswa
kedokteran yang tengah berpraktik di RS Pendidikan A dan B,” kata dr Joni
Wahyuhadi dari RSUD Dr. Soetomo.
Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas,
ketidakoptimalan pelaksanaan program JKN juga disebabkan oleh faktor kecurangan
(fraud). Celakanya, kecurangan dapat
terjadi pada semua sisi, mulai dari peserta JKS, petugas BPJS Kesehatan,
pemberi pelayanan kesehatan, hingga penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi.
Direktur Utama BPJS Kesehatan,Prof. Dr. Fahmi
Idris, dr., M.Kes, meminta agar semua pihak menjalankan profesionalisme. “Faskes Tingkat Pratama
hendaknya tidak merujuk pasien yang tidak membutuhkan pelayanan kesehatan demi untuk
mendapatkan insentif dari Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Tidak
melakukan tindakan medik yang tidak
perlu, dan tidak memperpanjang lama perawatan bagi pasien rawat inap,”
katanya mengingatkan.
Fahmi Idris juga berharap agar pihak FRTL tidak melakukan fragmentasi atau unbundling
untuk konsultasi internal, laboratorium, maupun radiologi dipecah – pecah hari
pelayanannya. FRTL diminta tidak melakukan readmisi
tanpa indikasi medis yang jelas, demi mendapatkan paket layanan baru.
Untuk mengatasi segala kecurangan dalam JKN, saat
ini telah dibentuk Tim Bersama KPK-Kemenkes-BPJS Kesehatan untuk pencegahan dan
penyelesaian fraud. Meski sejumlah
tantangan masih menghadang, semua stakeholder
masih sepakat bahwa JKN yang dirintis sejak 2014 itu perlu tetap dilanjutkan.
Tetapi ada satu pertanyaan besar yang belum
terjawab. Yaitu: bagaimana kelanjutan program JKN di tahun mendatang, setelah
terjadi pergantian Pemerintahan? Tampaknya
pihak Kemenkes juga terkesan “wait and
see”. Kabarnya hingga kini rencana pengembangan JKN untuk tahun 2020 dan tahun berikutnya juga belum disusun. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon