Menghirup udara kota Padang, terisap pula budaya Minang.
Dalam kunjungan singkat di kawasan Tabing dan Kec. Pauh Padang saya tak ingin cuma
menikmati kuliner dan selpa-selpi berlatar belakang panorama alam. Saya berharap
setidaknya mendapat satu dua nilai yang layak diserap untuk memperkaya jiwa.
Beruntung di sela wawacara dengan Drs. Nasir,
Kepala Kepala SMK SMAK Padang, saya
memperolehnya. Dikatakan, Minangkabau memiliki satu ungkapan: “anak sendiri dipangku, anak kamanakan dibimbiang,
anak kampung dipatenggangkan.”
Artinya, anak kandung wajib dibesarkan dan dididik
dengan sungguh-sungguh. Tapi tidak berhenti pada kesuksesan anak sendiri, anak
kemenakan hendaknya juga dibimbing agar tumbuh dan maju bersama. Selanjutnya,
anak tetangga juga dipikirkan serta diperhatikan masa depannya.
Sungguh ini sebentuk kepedulian sosial yang
mengatasi ego pribadi. Sikap sosial yang layak disosialisasikan kembali di
tengah kehidupan yang makin individualis. Budaya ini senada dengan anjuran agama
yang meminta agar kita tidak hanya mementingkan keluarga inti, tapi juga peduli
sanak famili terdekat, kemudian melebar ke radius yang lebih luas yaitu
tetangga kampung hingga desa terdekat. “Kita orang Minang hidup bersama,
membangun bersama, dan maju bersama-sama, ” katanya.
Minang terkenal sebagai suku perantau. Sebagai
perantau, mereka pasti ulet dan punya daya adaptasi tinggi terhadap situasi
baru. Maka, kepandaian membawakan diri di tengah pergaulan tentu menjadi poin keberhasilan.
“Awak
diberi pesan, kalau mandi di sungai,
mandilah di bawah-bawah,” kata Pak Nasir. Maknanya, menjadi orang sebaiknya
rendah hati saja. Tidak usah menonjolkan diri dengan memilih “mandi” di bagian
atas. Karena boleh jadi bisa membuat tidak enak hati orang-orang lain yang kebetulan
“mandi” di sungai bagian bawah.
Oleh-oleh hikmah yang layak dicerna.
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon