PARADIGMA ‘DAN’



Dalam realitas sehari-hari kita sering dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Pilih ini atau itu, di mana keduanya sama-sama tidak mengenakkan. Celakanya, kadang pilihan ganda itu tidak benar-benar terjadi, baru asumsi di angan-angan. Itulah yang disebut terjebak dalam paradigma “or”, paradigma “atau”.

Pilih pemimpin pinter atau pemimpin jujur? Pilih lambat tapi selamat atau cepat tapi celaka? Pilih jujur tapi nilai ujian hancur atau nyontek/ngerpek supaya mendapat nilai tinggi? Begitulah beberapa contoh dilema paradigma “or” yang sering dengar. Haruskah kita memilih salah satu?

Prof Muhammad Nuh dan Prof. Muchlas Samani mencoba menyodorkan paradigma alternatif, yang dinamakan “paradigma dan”. Ini paradigma yang tidak mau terjebak pada pilihan ini atau itu. “Saya tidak mau memilih ini atau itu. Saya lebih suka memilih ini dan itu,” kata Prof. Muchlas Samani, saat acara Seminar dan Bedah Buku di kampus Universitas NU Surabaya (UNUSA), Minggu kemarin.  Buku yang dibedah adalah buku beliau yang berjudul “Semua Dihandle Google, Tugas Sekolah Apa?”  Sehari sebelumnya, acara yang sama juga diadakan di Universitas Negeri Surabaya.

Dengan mengacu pada paradigma “dan” maka kita dapat mengembangkan optimisme dan masa depan yang lebih baik. Jadi, yang kita butuhkan bukanlah pemimpin pandai tetapi tidak jujur, atau pemimpin yang jujur tetapi tidak pandai. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang pandai dan jujur. Yang kita butuhkan adalah cepat dan selamat.Yang kita butuhkan adalah nilai ujian tinggi yang didapat dengan tanpa nyontek.

Demikian juga ketika mesin pencari canggih Google bisa menjawab semua pertanyaan siswa, apakah tugas sekolah sudah selesai? Pilih belajar kepada Mbah Google atau kepada Oemar Bakri?  Menjawab pertanyaan ini Pak Muchlas mengajak kita agar tidak terjebak kepada paradigma “or” tetapi memilih paradigma “dan.”

Artinya, kita gunakan intenet untuk sarana googling informasi dan mencari pengetahuan. Tetapi kehadiran guru juga tetap diperlukan, terutama untuk pembelajaran karakter, ketrampilan, dan  sikap. Model pembelajaran yang terfokus kepada memberikan informasi jelas tidak relevan lagi, karena tugas itu telah diambil alih internet.  “Maka tugas guru harus meningkat menjadi pemandu menggali informasi dan menggunakannya untuk memecahkan masalah kehidupan secara kreatif dan bijak,” katanya.

Demikian juga Prof. M. Nuh, mendorong para  guru tidak hanya berhenti kepada memberi informasi tetapi berupaya melakukan optimasi. Pendidik tidak hanya mengajarkan deskripsi (apa yang terjadi?),  tapi harus meningkat kepada diagnosa (mengapa terjadi?),  prediksi (apa yang akan terjadi?), bahkan preskripsi (antisipasi apa yang harus dilakukan?). Siswa perlu dibiasakan mengembangkan berfikir tingkat tinggi (hight order thinking). Sebab masa depan yang dihadapi akan lebih rumit dan menuntut penyelesaian yang lebih cepat.

Di mata mantan Mendikbud ini,  guru bukan sekadar akronim dari kata “diguGU”dan “ditiRU.”  Sebuah  pribadi yang  patut menjadi suri tauladan. Sesungguhnya kata guru berakar dari bahasa Sansekerta. “Gu” itu artinya darkness atau kegelapan. Sedangkan “Ru”  itu artinya destroy to darkness, sang penghancur kegelapan. Dengan kata lain guru itu adalah sang pencerah yang menghancurkan kegelapan.

Selamat kagem  Prof. Muchlas Samani atas terbit buku barunya.  adrionomatabaru.blogspot,com




Previous
Next Post »