BERSEKOLAH



UMUR berapa idealnya memasuki gerbang sekolah dasar? Aku tidak tahu persis jawabannya, sebab yang kualami adalah merasa terlalu awal menduduki bangku kelas 1 SD. Setelah dewasa aku baru paham bahwa umur itu ternyata ada dua jenis. Ada umur fisik, ada umur psikologis. Umur fisik ya umur yang berdasarkan pada tahun kalender. Sedang umur psikologis berkait dengan kematangan mental seseorang.

Implikasi dari pemahaman ini adalah umur kalender seorang anak tidak selalu sejalan dengan usia psikologisnya. Ada anak yang secara akte kelahiran sudah berusia tujuh tahun sehingga sudah layak bersekolah, tetapi boleh jadi usia psikologisnya masih muda sehingga dia belum siap menerima perintah guru dan belum bisa berkonsentrasi barang sejenak. Aktivitasnya masih muter-muter tak terkendali.

Zaman dulu, ketika semua siswa belum memiliki akte kelahiran, ada metode unik yang dipakai guru untuk memutuskan bahwa seorang calon siswa dinilai cukup umur dan boleh bersekolah. Metode itulah yang dikenakan kepadaku saat itu.

“Coba kamu angkat tangan kananku lurus ke atas,” kata Pak Guru yang berdiri di dekat lemari kantor. Aku memperhatikan wajah Pak Guru dengan tengadah lalu menjalankan perintahnya.

“Sekarang lengan kananmu kamu tekuk di atas kepala,” katanya sambil membantu gerakan tanganku agar sesuai kemauannya.
“Ya begitu. Sekarang kamu pegang kuping kirimu,” perintah selanjutnya.

Semula kuanggap perintah itu gampang dilaksanakan. Ternyata saat kucoba tidaklah demikian. Meski begitu aku berusaha melakukannya. Ujung jari berusaha menggapai-gapai kuping. Hap, kena!, meski hanya sebatas ujung jari kanan menyentuh ujung atas kuping kiri.

Iyo wis, nyampek. Sesuk oleh sekolah nang kene,” kata guru meloloskanku untuk menjadi siswa baru.

Waktu itu usiaku masih sekitar enam tahun. Sementara umumnya teman-teman yang masuk SD di desaku berusia tujuh tahun, bahkan tak sedikit yang delapan tahun. Sudah tua, badan mereka besar-besar pula.

Seharusnya aku masuk di TK Nol besar guna melanjutkan TK kelas nol kecil yang kutempuh di TK Varuna II, saat masih tinggal di Jl. Bagong Ginayan IV, Surabaya. Tapi karena di Kalirejo belum ada TK, maka aku “dititipkan” di kelas satu. Orang tuaku menitipkan itu berbarengan dengan saat mendaftarkan kakakku, Andriani Arifah, masuk kelas 1. Maksud dari “dititipkan” kurang lebih begini: nanti bila aku tidak mampu mengikuti pelajaran, maka silakan tidak dinaikkan. Lebih baik sekolah daripada di rumah, dolan thok.

Kaki Nyeker

Sekolahku terletak di pojok perempatan jalan, berada di sudut  pertemuan antara Jln Sumber Wuni dengan Jl. Sumber Sekar, Kec. Lawang, Kab. Malang. SDN Kalirejo II bukan SD Inpres. Untuk kegiatan belajar kami menempati gedung peninggalan Belanda. Temboknya tebal sekali. Masing-masing pintu kelas dibuat rangkap dua dan tinggi. Sepasang  berbingkai kaca, sepasang lagi terbuat dari kayu yang kokoh.

Meja dan kursi bergandeng menjadi satu. Karena terbuat dari kayu jati yang tebal dan berat, butuh empat siswa untuk mampu mengangkatnya. Mejanya tidak datar melainkan dibikin miring sehingga ergonomik bila dibuat menulis huruf latin miring bersambung. Saat iseng aku suka meletakkan pensil di bagian depan meja, lalu menggelindingkannya hingga berhenti di bagian bawah yang sudah diberi pembatas kayu lis tipis.  Bila kalian masih sulit membayangkan bentuknya, periksa saja logo di baju siswa sekolah Muhammadiyah. Di sana terabadikan gambar meja-kursi jadul yang kumaksud itu.

Hari pertama masuk sekolah, Januari 1969, seperti biasa aku bersama kakakku mengenakan seragam sekolah atasan putih bawahannya aku lupa, yang jelas bukan merah seperti SD sekarang. Tidak lupa kami memakai kaos kaki dan sepatu hitam. Memang seperti itulah cara berpakaian ketika masih sekolah TK di Surabaya.

Tetapi saat sampai di sekolah aku segera menemukan keganjilan. Tak ada satupun temanku, juga kakak-kakak kelasku yang bersepatu. Aku merasa salah kostum. Mbakyuku mungkin juga merasa demikian. Kehadirankan sebagai siswa baru dengan sepatu mungkin membuat aku terlihat seperti sosok guru atau tentara di hadapan mereka. Ketika istirahat tiba, temanku berdiri di depanku sambil tangan kanan diangkat di atas alis, “ Hormat, grak!”  Tidak hanya satu anak. Tapi beberapa teman yang lain juga ikut-ikutan membullyku.

Itulah hari pertama aku mengenakan sepatu dan hari itu pula merupakan hari terakhir aku bersepatu di SD. Esoknya aku bersekolah dengan bertelanjang kaki alias nyeker, agar sama dengan teman yang lain. Semua bocah pasti butuh diterima kelompoknya, maka aku melakukan langkah yang kelak kupahami sebagai  upaya konformitas.

Jadinya ada adegan lucu terulang setiap pagi. Sesudah macak rapi, habis mandi dan sarapan, lalu mencangklong tas sekolah, maka aku melempar kedua sandalku ke kolong meja sebelum lari berangkat sekolah. “Pak, Mak, aku budaaal….!” (adrionomatabaru.blogspot.com)
Keterangan foto: Temans kelas 3 SD Kalirejo II. Aku jongkok nomor 3 dari kiri.

Colek konco lawas: Tatik Supartini, Zoel Monoarfa, Sri Puji Rahayu, Weling Taij, Suhardi Lawang, Ninik Kusnia, Andriani, Titin Suhernaning, Rini Rastuti, NitaRasdianti, Iksan Mahmudi, Mas Hartoko.
Previous
Next Post »