BERPADU DI MAMUJU



Demi menjalani pekerjaan memunguti kata dan mencatat keadaan, sampailah aku di Mamuju, ibukota Provinsi Sulawesi Barat. Sebuah provinsi yang relatif baru hasil pemekaran dari Sulawesi Selatan. Semenjak turun di Bandara Tampa Padang,  langsung terasa bahwa saya tengah memasuki suasana tenang disertai hamparan lukisan alam memesona.

Agaknya di sini, sebuah peribahasa musti diubah. “Asam di gunung garam di laut” mengasumsikan di antara keduanya terentang jarak yang amat jauh. Tetapi di Mamuju  gunung dan laut telah bersanding dan bertemu untuk menyuguhkan panorama indah di seantero ibukota.

Budaya gunung dengan budaya pesisir yang beda dan kadang berbenturan, juga telah menemukan dialektikanya di sini. Di Bumi Manakarra ini, asam dan garam berpadu sempurna dalam lezatnya sayur ikan baupiapi maupun kuah ikan palumara. Hem, maknyus.

Langgam Mamuju seolah mencibir sikap orang kota yang mengaku modern, “kenapa engkau hidup begitu tergesa-gesa?” Lihatlah, jarum jam tetap berdetak dengan santainya. Jalan-jalan raya legang menyenangkan, tak gaduh deru mesin dan klakson angkota. Di dalam kota sudah ada plaza dan taksi, meski kabarnya baru tujuh biji yang beroperasi. “Orang sini, habis isak sudah pada mengendap di rumah,” kata Yuke, sopir yang mendampingi saya dan Son Andries, beserta Kiki dari Kopertis IX.

Apabila pagi hari hujan keburu turun, niscaya banyak orang akan meralat niatnya. Sebab berdiam di rumah agaknya jauh lebih menyenangkan. Seorang dosen sebuah Stikes bercerita, bila hujan sudah jatuh pagi hari, dia tidak perlu terlalu bergegas menuju kampus, sebab mahasiswanya tidak akan ada. “Esoknya saya tanyak, kenapa kemaring tidak kuliah? Hujang, Pak, kata mereka,” ujarnya.

Seperti halnya orang  Makassar, di telingaku ucapan orang Mamuju juga sering kelebihan huruf “g”  Betulkah begitu, Kiki? Gadis asli Mamuju itu cuma ketawa. Ah, tidak mungking... Haha…yang pasti, logat bicara mereka enak didengar kuping karena agak mendayu-dayu dan tidak banyak tanda seru.

Mumpung di Mamuju, harus sempatkan waktu untuk kunjungi beberapa destinasi. Bukankah itu syarat sah dan rukunnya orang membolang ke sebuah kota? Kami pun menanjak ke gunung Anggara Pitu lantas menurun ke Pantai Manakarra. Sejenak berselfa-selfi dengan background tulisan maupun ikon kota. Meski menurut hati kecilku tingkah laku seperti itu agak norak, toh nyatanya kulakukan juga.

Mamuju, meski aku bakal menenal  kota-kota lain yang berbeda, dirimu tak mungking kulupa.
Percayalah kepada janji lelaki, setidaknya untuk kali ini. Apalagi Kiki telah berbaik hati, memberi kami oleh-oleh kain tenun Mandar dan sekotak ikan layang asap. Thanks berat ya. (adrionomatabaru.blogspot.com)





 
Previous
Next Post »