MUDIK NEVER DIE


Cak Lontong punya dua tips untuk calon pemudik. Pertama, pastikan bahwa Anda memiliki kampung halaman (hehe .. yo mesti ae Cak. Tambahan Cak: Kalau sudah punya kampung halaman, Anda juga harus dapat memastikan letaknya berada di halaman berapa?). Tips kedua, kalau mudik bawalah pakaian secukupnya. Sebab kalau Anda membawa semua pakaian, maka itu bukan mudik. Itu minggat namanya!

Ya, komedian asal Magetan ini memang lihai memutarbalikkan logika sehingga melahirkan gelak tawa. Budaya mudik menjadi lucu gara-gara otak-atik kreatifnya. Tetapi sebetulnya kelucuan mudik bukan hanya lantaran dekonstruksi Cak Lontong semata. Ketidaklogisan dan keanehan mudik itu sudah ada dalam tradisi itu sendiri.

Bagaimana menjelaskan kepada orang asing tentang fenomena jutaan manusia di kota-kota besar Nusantara berduyun-duyun menuju ke desa dalam waktu yang bersamaan? Sudah pasti mereka bakal gagal paham. Jangankan mereka, Pemerintah Orde Baru juga pernah gagal paham merespon kebiasaan mudik ini.

Waktu itu banyak pejabat mengimbau agar warga kota tidak perlu mudik di musim lebaran. Bukankah anjangsana bisa dilakukan kapan saja? Mengapa bermaaf-maafan harus menunggu hari Raya tiba? Juga diinformasikan bahwa “pulkam” sebetulnya tidak ada tuntunannya. Tetapi masyarat rupanya punya logika sendiri. Seperti air pasang mereka tetap datang menggenangi desa-desa. Maka semua imbauan bergaya normatif itu menjadi terdengar naif. Hilang ditelan deru mesin kendaraan para pemudik. Siapa bisa  melarang orang mudik?

Kecanggihan teknologi teleconference, skype,dan line telah membuat setiap orang dapat berbincang sambil bertatap wajah secara jarak jauh. Gadget nyaris ada pada setiap genggaman tangan. Tetapi semua “kemudahan” itu ternyata tidak menyurutkan greget untuk mudik. Orang tetap saja butuh interaksi personal, sentuhan manusiawi. Sungkeman, jabat tangan, dan kehangatan persaudaraan tidak bisa dipindah ke dunia virtual. 

Mudik never die. Ini peristiwa khas Nusantara yang terjadi secara massal, massif (tapi tidak sistemik dan tidak terstruktur). Bagai jutaan kutu jalanan mereka bergerak serempak dari hilir menuju udik, dari ibukota menuju ibu kandung desa.

Mudik bukan cuma perilaku orang udik kelas menengah bawah, tetapi lebih dari itu juga menyangkut sisi psikososial, emosional, hingga eksistensi diri manusia Indonesia. Menurut Kompas minggu kemarin, moda angkutan terbesar yang digunakan pemudik tahun ini ternyata pesawat terbang, sementara pemudik dengan bus menurun. Nah, lo. Orang-orang berpunya juga ramai-ramai balik ke desa.

Yang tak mampu beli tiket pesawat dan kereta juga tidak galau. Banyak jalan menuju desa. Maka motor menjadi pilihan praktis. Sepeda motor roda tiga maupun becak motor juga dikendarai.  Meskipun angka kecelakaan roda dua amat tinggi, tiada yang peduli.  Ini bukan pilihan tapi lebih merupakan keterpaksaan di tengah kebijakan transportasi publik yang belum banyak berpihak kepada rakyat kecil.

LIhatlah, ayah, ibu, dan dua anak, berboncengan sekali angkut. Di tengah motor dan belakang sadel masih dimuati kardus-kardus bangkelan. Kadang masih ditambahi lagi dengan kiso (tas khusus untuk ayam) beserta ayamnya, juga sangkar beserta burungnya. Kenapa tidak membawa rak piring sekalian? 

Butuh Perjuangan
Mudik telah identik dengan kegembiraann. Bahwa kemudian butuh biaya besar, kena tiket tarif maksimal, dicatut calo itu sebuah konsekuensi. Berkurangnya kenyamanan lantaran terjebak macet, berjejalan di angkutan umum, berebut karcis, telantar di terminal, itu tak begitu masalah. Malah seolah membenarkan sebuah ungkapan: bukankah sebuah kembali selalu butuh perjuangan?

Sekarang orang makin makfum bahwa mudik bukan cuma perkara berduyun-duyun pulang kampung. Pulang adalah kebutuhan, keseimbangan setelah kita pergi. Bahkan teman sastrawan, Joni Ariadinata, menegaskan mudik adalah keharusan bagi orang yang masih memiliki orang tua. “Kedatangan anak adalah anugerah terindah bagi ibu bapak. Membahagiakan mereka, menyenangkan mereka akan membuat mereka ridho. Keridhoan dalam kegembiraan itulah yang membuat Tuhan tersenyum….,” tulisnya dalam FB beberapa hari lalu.

Mudik menjadi kebutuhan manusiawi. Ketika orang sudah pergi ke mana-mana, mereka rindu untuk balik ke daerah asal masing-masing. Kangen mencicipi kembali pedasnya rujak cingur Mak Tri di ujung gang atau nasi pecel di samping jomplangan sepur. Ingin berjumpa dengan teman lama sepermainan.

Tidak mudik bukan cuma urusan lidah dan pertemanan, sebab pada hakikatnya setiap pribadi selalu menginginkan mudik, ingin kembali ke fitrah. Bila seseorang telah pergi jauh, apalagi sampai melenceng dari jalan lurus dan telanjur menerjang pagar-pagar syariat, maka pada titik tertentu dia pasti menginginkan kembali ke jalur asal, ingin kembali mudik ke fitrah,  berharap kembali suci, ingin ber-Idul Fitri.

Sebuah tembang lama, yang dibawakan Sudrun bersama Kiai Kanjeng, dengan santun mengingatkan: Umpamakna peksi mabur duwur wis mesti bali. Umpama wong sanja mestine ya kudu mulih. Mulih ning ngisor semboja. (Ibarat burung terbang tinggi pasti akan kembali. Ibarat orang beranjang sana ke tetangga sudah seharusnya pulang ke rumahnya sendiri. Pulang ke bawah pohon kamboja alias ke pemakaman).

Ya, pada akhirnya semua jiwa hendaklah mudik serta senantiasa memelihara rasa mudik agar tidak gampang terseret langkah yang menjauh dari kebaikan, terbawa nafsu dan godaan setan hingga tersesat dalam kemungkaran. Tentu ini tidak mudah, butuh perjuangan untuk melakukannya.
Sesungguhnya kita ini kepunyaan Allah dan kepadaNya kita kembali, sebagaimana yang terkandung di dalam innalillahi wainnailaihi raaji’uun (QS 2:156). Kiranya wainnailaihi raaji’uun adalah mudik yang sebenar-benarnya. Dan mudik yang satu ini tak perlu menunggu bulan Ramadan tiba.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sampai jumpa dengan tulisan lain, setiap Senin dan Kamis, di alamat yang sama. InsyaAllah.
Previous
Next Post »