KAMPUNG SURABAYA DILIHAT DUNIA



Seyogyanya sampeyan jangan lagi meremehkan kampung. Karena Surabaya sejatinya bukanlah metropolitan, apalagi megapolitan. Kota terbesar kedua di Indonesia ini lebih pas disebut sebagai sekumpulan kampung-kampung. Dalam bahasa pakar tata kota dan arsitek, Prof. Johan Silas, kota Surabaya pada hakikatnya dibentuk oleh aglomerasi kampung yang terus berkembang seiring dengan perubahan zaman. 

Sekarang citra kampung tengah naik daun. Bahkan hari Senin ini hingga Rabu lusa (25-27 Juli) Walikota Surabaya Tri Rismaharini dengan bangga akan memamerkan 14 kampung di Surabaya kepada para delegasi dari 193 negara yang sedang mengadakan Preparatory Committee (PrepCom) for Habitat III, di Grand City Convex Surabaya.

Acara internasional Rapat Persiapan Konferensi Habitat ke Tiga ini bakal membahas isu lingkungan perumahan, permukiman, dan perkotaan. Even 20 tahunan yang diikuti sekitar 2500 peserta ini  diprakarsai UN Habibat yang merupakan sayap organisasi PBB dan bergerak di bidang permukiman dan pembangunan kota berkelanjutan. 

Wellcome Mister, this is my Kampung. Wis delok-deloken kono Mister. Nek onok sing apik yo conto-contoen gak popo aku, (sstt.. tapi nek iso yo aku tinggalono sangu hehehe….).” Begitu kira-kira sambutan arek Suroboyo yang familiar, humoris, dan cenderung blak-blakan itu.

Kota Pahlawan ini memang punya sederet kampung layak kunjung dengan keunggulan sendiri-sendiri. Ada Kampung Green and Clean yang asri seperti di Sukomenanggal atau Kampung Bebas Narkoba. Ada kampung yang dikembangkan berdasar potensi ekonomi seperti Kampung Lontong di Banyuurip, Kampung Urban Farming di Made, hingga Kampung Batik Rungkut.

Ada juga predikat Kampung Pendidikan yang disandang Kampung Babat Jerawat RW 8 yang berhasil menerapkan jam belajar bagi anak usia sekolah. Kampung Dukuh Setro RW 1 sukses mengembangkan Kampung Asuh. Ada juga Kampung Lawas di Maspati, Bubutan. Bila ada rombongan kunjungan tamu, kabarnya warga di sini siap menyambut dengan busana Suroboyoan komplet dengan suguhan masakan tradisionalnya.

Kampung Surabaya agaknya merupakan sebuah model permukiman yang khas. Masyarakatnya urban tapi sikap dan perilakunya masih diwarnai nilai-nilai lama dan kearifan lokal. Boleh jadi karakteristik ini bakal menarik perhatian ratusan delegasi yang sedang berkonferensi. Apalagi keluhan global yang muncul saat ini adalah pesatnya perkembangan kota yang sering tidak terkendali justru berdampak negatif bagi penghuninya. Warga menjadi terasing dari lingkungannya sendiri yang ramai tetapi individualistik.

Tapi sayangnya sampai kini istilah kampung masih belum “clear” benar. Kampung secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu kawasan di mana terdapat beberapa rumah atau keluarga yang bertempat tinggal di sana. Namun dalam terminologi kampung masih terkandung konotasi negatif. Ungkapan kampungan adalah contoh konkret pemanfaatkan idiom kampung sebagai olok-olok terhadap perilaku tidak beretika, selera rendah, atau kelompok sosial berstrata menengah bawah.

Bahkan kamus bahasa dan referensi ilmiah juga masih mendefinisikan kampung dengan nada “minor”. Kampung diartikan sebagai kelompok rumah yang merupakan bagian kota yang biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah dan belum modern. Sumber pustaka  lain menambahkan ciri-ciri kampung itu kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang teratur,  bangunan rumahnya rapat, kumuh, dan tingkat kepadatan penduduknya relatif tinggi.

Padahal tidak selalu demikian. Kampung bukan permukiman kumuh  dan liar, melainkan bentuk permukiman yang dibangun secara swadaya oleh para penghuninya. Dengan demikian wajar jika  tidak terlalu mengikuti ketentuan pembangunan formal dari pemerintah, tanpa perencanaan bagus, dan infrastruktur juga kadang tidak memadai.

Apabila dicermati sebetulnya banyak sekali sisi positif dari kampung. Aspek ini bahkan dapat dijadikan sebagai spirit dalam membangun masyarakat ke depan. Spirit kampung adalah kekeluargaan, kolegialitas, saling peduli, dan gotong royong. Warga di kampung-kampung Surabaya masih membawa sifat dan perilaku kehidupan perdesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat.

Dosen Unesa, Martadi M.Sn, pernah bercerita, dulu rumah di kampung Surabaya banyak yang  tidak memiliki pagar, sehingga orang bisa masuk ke rumah tetangga lewat samping rumah dengan leluasa. Teritorial dan batasan antarrumah menjadi tidak begitu penting. Kenyataan ini seolah mengabarkan pesan bahwa rumahku bukanlah betul-betul wilayah pribadiku, rumahku juga merupakan rumah kita.

“Tidak adanya pagar juga menjadi bukti bahwa kampung zaman dahulu cukup aman dari tindak pencurian. Pengamanan bersama lewat ronda malam terbukti lebih efektif menangkal kejahatan. Dalam bidang pendidikan, kepedulian khas kampung juga amat terlihat. Mereka saling mengingatkan bila menyaksikan ada anak melakukan perbuatan yang melanggar norma atau hukum,” katanya.

Kini tampaknya Pemerintah kota Surabaya berniat mengangkat kembali keunggulan budaya kampung sebagai spirit dalam menjalankan pembangunan. Bu Risma dalam banyak kesempatan menegaskan, ingin membangun kota Surabaya menjadi kota yang maju tetapi tetap manusiawi.

Sebuah kota yang tetap membuat kerasan warga yang t tidak kehilangan jati diri. Dirinya mengaku, tidak ingin pembangunan berkembang seperti di Jakarta, banyak bermunculan kawasan elite dan apartemen yang penghuninya cenderung individualistik. Meski serba berkecukupan, apa enaknya hidup tanpa interaksi hangat dan tanpa tegur sapa?

Sikap ini tampaknya sejalan dengan pemikiran modern yang tengah berkembang. Banyak perencana kota mulai merancang kawasan hunian yang dikonsep lebih familiar dan open. Mereka justru menjauhi konsep ekskusivisme, antara lain dengan membikin dapur terbuka sehingga memungkinkan antartetangga bisa masak bersama, saling membantu, bertukar bumbu, atau saling mencicipi masakan. Nah, bukankah ini amat mirip dengan keberadaan dan suasana kampung kita?

Sebagai penutup, kiranya statemen  Johan Silas layak disimak: “masa depan kota di Indonesia justru akan sangat bergantung pada kampung-kampungnya. Proses pembangunan membutuhkan dukungan kampung yang mewakili konteks kelokalan sebuah kota. Kampung memegang peranan penting untuk meningkatkan kualitas hidup kota. Mengikutsertakan kampung dalam perencanaan pembangunan kota yang menyeluruh adalah suatu keharusan bagi perencana kota.”

Selamat berkonferensi UN Habitat di Kampung Surabaya, Mister dan Missis! Pesenku: masio hawane sumuk, peno ojok sampek ote-ote ya…hehehe... (adrionomatabaru.blogspot.com).  Sampai jumpa pada tulisan lain, setiap Senin dan Kamis, di alamat yang sama. InsyaAllah.

Foto by Sony Laksono: aktivitas warga Kampung Kapas Gading Madya RW 1 Surabaya.



Previous
Next Post »