BERADA di pelabuhan kecil Tanjung, Saronggi, Sumenep, Madura, saya tidak hanya memandang pesona panorama bahari, tetapi juga menyaksikan sisi lain kehidupan. Sisi yang tidak kutemui di dunia maya maupun dalam rumpi dengan teman-teman kerja seprofesi.
Sambil menunggu keberangkatan kapal motor menuju Pulau Giligenting, kulihat deretan kapal sandar dengan bendera warna-warni berkibar meriah diterpa angin Desember. Untaian bendera itu seolah mengabarkan pesan, bahwa hidup adalah aktif bergerak. Senantiasa berikhtiar dengan segenap daya.
Seperti yang dilakukan sekelompok orang di bawah saung sederhana itu. Mereka bergerak, mau mengerjakan apa saja. Menangani pekerjaan angkat junjung dan sejenisnya, yang memang tidak butuh skill spesifik. Mereka “formal”nya berprofesi sebagai pengojek pangkalan. Tetapi mana cukup? Maka wajib dibarengi dengan usaha sampingan. Kali ini dapat borongan memindah tumpukan kardus dan plastik rongsokan dari kapal ke mobil pikap.
Rezeki yang agak rutin adalah menaikturunkan sepeda motor dari dan ke geladak kapal. Ini tidak gampang, dijamin penumpang tak bakal bisa melakukannya sendiri. Tapi tidak usah khawatir, di sini tenaga kerja selalu berlebih. Tentu tidak gratis. “Telloebu (tiga ribu rupiah) per motor,” kata seorang dari mereka, kayaknya selaku koordinator.
Kegiatan menurunkan motor dari kapal dilakukan secara keroyokan. Sedikitnya ada 12 orang yang berbagi tugas secara spontan. Mulai dari memosisikan motor di atas sebilah papan, mendorong bodi motor dari satu geladak ke geladak kapal sebelahnya. Lalu yang lain memasang tali plastik di setang motor, mendorong kuat-kuat, dan di pinggir dermaga beberapa orang bertugas menarik dengan cekatan.
Kamis siang itu di kapal terdapat sekitar 10 motor yang diturunkan. Dengan demikian kita dapat menghitung sendiri dalam hati, berapa uang jasa yang masuk kantong celana masing-masing. Ya, berapa pun rezeki harus disyukuri, yang penting rukun mencari nafkah bersama. Bila sedang menganggur, mereka kembali ngobrol dan bermain di saung. Gelak tawa sering pecah terdengar. Nah kan, jangan sangka mereka susah?
Di geladak seorang pria sibuk menyobek karcis dan menarik ongkos menyeberang. Tarif sekali trip dari Tanjung ke Gringsang sebesar Rp 15 ribu. Untuk menempuh perjalanan sekitar 9 km itu makan waktu 30 menitan. Angin laut dan ombak cukup bersahabat karena letaknya memang di teluk.
Pak Mahfud mengaku sudah puluhan tahun menjadi tukang karcis. Dirinya cerita, dulu sebelum pandemi Covid penumpangnya ramai. Bisa mengangkut sampai 2.000 orang lebih dalam sehari. Sekali jalan bisa membawa sekitar 70 orang. “Sekarang tidak sampai segitu.Tapi Alhamdulillah keadaan mulai membaik, tapi belum pulih kayak dulu,” katanya.
Sementara itu di meja kemudi kapal berstiker Tuan Muda LDS Giligenting terlihat sejumlah barang penting dan ternyata mencerminkan banyak dimensi. Ada tumpukan barang titipan berlabel Shoppe. Kiranya, perdagangan online sudah menusuk jauh hingga ke pulau kecil. Di bagian kanan meja terdapat alat pemadam kebakaran portable dan perkakas untuk mengatasi kondisi darurat. Dan lihat itu, di dekat kaca terselip buku kecil, berjudul “surat Yaasiin”. Semua itu tentu diniatkan demi keselamatan perjalanan.
Pada jalur yang dilewati kapal motor juga terdapat kehidupan ekonomi tersendiri. Di atas laut, berdiri beberapa pagan. Ini alat penangkap ikan tradisional berbentuk kerangka bangunan yang terbuat dari bambu. Bila malam pada ujung-ujung pagan menyala lampu yang terang. Sengaja diciptakan cahaya agar ikan-ikan tergoda mendekat lalu terperangkap jaring di bawah pagan. Nelayan pun mengambili secara berkala.
Di samping pagan juga terdapat beberapa keranda bambu,
terapung-apung digoyang ombak. Yang ini budidaya rumput laut. Warga menyebut komoditas
yang satu ini hasilnya lumayan bagus.
Memasuki Pulau Giligenting, saya menyaksikan satu upaya bisnis lagi. Pada hamparan pasir putih terdapat destinasi wisata yang beranjak populer. Pantai Sembilan namanya. Tersedia deretan cottage, gazebo, jaring ayunan hammock, bandulan, juga beberapa ornamen untuk background berselfi ria.
Ketika menjelang Ashar, sekelompok nelayan tampak bergegas menepi pantai. Menurunkan hasil tangkapan. Lalu para perempuan menyongsong dan mengambil alih tugas memikul keranjang berisi aneka ikan segar dan sotong bercampur es batu. Sesampai halaman rumah langsung ditimbang dan diperdagangkan.
Ya, denyut ekonomi ada
di mana-mana, di darat maupun segara. Dan di dalamnya selalu terdapat sisi kehidupan
yang menarik dan menginspirasi. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon