Ketika tetes gerimis semakin kerap berjatuhan, bocah-bocah itu berlarian seraya tengadah
tangan dan berdendang:
“Udana sing deres, nyambela sing pedhes…!”
(Hujanlah yang deras,
menyambal yang pedas).
Di langit, malaikat pembagi hujan menyimak dengan seksama. Seolah ingin memastikan apakah ucapan anak-anak itu sekadar tembang dolanan ataukah doa minta hujan sungguhan.
Tapi kemudian dia memilih berbaik hati dengan mencurahkan air penuh rahmat. Sebab menurutnya, anak-anak itu telah bermohon dengan wajar dan pantas. Tidak seperti para orang tua yang suka memaksa Tuhan untuk mengabulkan segala kemauan maupun obsesinya.
Anak-anak umumnya berharap dengan sekadarnya. Dalam banyak hal juga gampang menerima hasil akhir dan keadaan dengan rasa gembira. Genangan banjir disikapi sebagai kolam renang gratis dan tempat pengungsian mereka pandang sebagai bermain kemah-kemahan.
Nah saksikan itu sekarang, di bawah deras, Rinai dan teman-teman perempuannya berlompat kegirangan, merasa tengah mandi di bawah shower superraksasa. Sementara bocah laki-laki berebut menggocek bola seraya membayangkan diri sebagai Leonel Messi.
Hujan baru reda, di saat tubuh menggigil kedinginan. Lalu mereka berhamburan pulang dengan bibir pucat kebiruan. Tetapi begitu hendak masuk rumah, Rinai langsung disambut dengan dampratan ibunya. Dia mengkeret, lalu jalan melipir menuju ke kamar mandi.
Di kaki langit, sang pelangi
memandang semua itu dengan agak kecewa. Lalu diam-diam dia menyelinap pergi,
karena tak berminat lagi memamerkan selendang warna-warni. (*)
Sumber foto:
shutterstock, hipwee.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon