SAMBANG NONVIRTUAL

 


Pada akhirnya memang semua tidak bisa diselesaikan secara daring. Termasuk urusan persahabatan.  Kami setiap detik memang bisa ngobrol lewat Grup WA atau berbagi gambar dan info via medsos. Tetapi tetap saja ada keinginan untuk ketemu langsung, karena kita butuh mendengar suara tawa renyah yang benar-benar lewat telinga, bukan dengan menatap emoticon kartun ngakak atau sederet tulisan “wkwkwkw”. Kita butuh jumpa nyata, bukan cuman kontak maya.  

Maka Sabtu kemarin kami berenam seharian keluar dari sarang. Mencoba melakukan hal-hal lama  yang amat lumrah, (tapi selalu menjadi istimewa), yaitu beranjang sana ke rumah teman. Tentu  dengan tetap menjalankan prokes, walau cenderung sembrono karena sering lepas pasang masker karena hidung  gatal atau tidak nyaman saat bicara.   

Kami bertandang ke kediaman teman (rasa saudara) Titik Surya Pamukti di Mojokerto. Ini keinginan lama yang akhirnya menjadi nyata. Rekan meliput di lapangan, ketika kami sama-sama menjadi jurnalis di harian sore Surabaya Post dulu. Kini beliau telah bermetamorfose menjadi seorang Cikgu.  Seperti halnya Pak Zaenal Arifin Emka yang kini telah menjadi akademisi, mendidik calon awak media di AWS Stikosa Surabaya. 

Apa topik yang dibicarakan ketika kita bertemu teman, menjadi tidak penting lagi. Sebab apapun yang diomongkan, termasuk kesedihan, selalu saja dipungkasi gelak tawa. Obrolan ringan, plesetan ala ludruk Kartolo pun sudah menyenangkan. Kisah perjuangan dramatis suami istri, Cak Sukemi dan Mbak Luluk, yang setengah bulan sukses berjuang melawan Covid-19 di RSI, pun tak henti-henti kami syukuri. 

Betapa menyenangkan berbincang secara konvensional, hingga kami tak sempat lagi memegang gadget. Begitu gayeng sampai kami lupa, hingga pulang pun tak sempat selfi bersama.  Untung saya tidak sampai kelupaan meminta kembang suruh gading. 

Begitulah, kami merasakan kembali kehangatan relasi pertemanan yang dulu sering kami alami. Interaksi di masa pramedsos dan prapandemi. 

Kegiatan cara konvensional pun kami lanjutkan dengan  meluncur ke Trowulan. Mampir pinggir ke kolam segaran, santap kuliner ikan wader di Cak Mat, saudaranya Cakwit. Merasakan kembali sensasi makan bersama ala desa. Lauknya ikan wader pari, belut, udang sambel terasi pedas. Ditingkah sayur asem dan bothok simbukan membuat makan menjadi luekoh. 

Mumpung diluar sekalian dilanjut ke Wonosalam, tepatnya ke Desa Wonokerto. Mengunjungi Ibu baik hati Azizah Hazim yang tengah bergiat membangun wisata Selasar di areal perkebunan duren dan cengkih. Berbincang di beranda rumah bambu dengan suguhan pisang goreng raja nangka, maka nikmat mana lagi yang hendak kami dustakan? 

Ini rumah bambu keren sekali. Saya berkesempatan lagi menyentuh dinding bambu (gedek), sembari merasakan kembali memori masa bocah ketika masih menghuni rumah gedek.  Begitu pula ketika kucoba mendorong dan menarik pintu bambu geser di setiap kamarnya, kurasakan kenangan lama.  Di sini tidak berlaku kiasan “seperti tertimpa durian runtuh” yang artinya orang mendapat rezeki. Tapi durian jatuh dari pohon bisa sungguh-sungguh terjadi, dan bisa bikin genting pecah dan kepala bocor. Untuk itu di bawah genting rumah bambu perlu dilapisi dengan aluminium foil untuk menahan petaka. 

Mengalami lagi pengalaman riel seperti ini tentu menyenangkan hati. Merasakan terguncang-guncang di dalam mobil yang lewati jalan bergeronjal atau melaju, berkelok waspada melewati bekas tanah longsor jelas membikin kesan nyata. Ketika panduan suara cewek dari GPS smartphone sudah tidak bisa diikutilah akurasinya, maka cara lama pun dipakai kembali. Turun dari mobil bertanya secara lisan kepada orang kampung. Hangat bertanya jawab dalam bahasa daerah.

Menyaksikan kembang aglonema beras tumpah yang tumbuh liar di pekarangan tentu lebih menyejukkan mata. Itu juga ada jemuran umbi porang yang lagi hot dibicarakan banyak orang. Kepala kegerimisan air hujan, wudu air sumber, bau tanah basah dan durian yang menguar, orkestra suara gareng pong (tonggeret), hingga memetik buah rambutan segar yang masih dirubung semut hitam adalah pengalaman-pengalaman keseharian yang semakin jarang kita temukan dan rasakan akhir-akhir ini. 

Begitulah, anjangsana. Kegiatan sederhana yang selalu berdampak istimewa. Wajar jikalau Kanjeng Nabi dhawuh, agar kita gemar untuk menjalankan. Sambang-sinambangan akan memperpanjang usia dan menambah rezeki. Saya amat percaya itu. Buktinya konkret: baru mau pamit dari rumah bambu kami sudah mendapatkan rezeki satu glangsing rambutan dan tiga tandan pisang. Ini buah sungguhan, bukan emoticon buah.  Matur nuwun Bu Iroh.
 Adriono




Previous
Next Post »

1 comments:

Write comments
Yaudah
AUTHOR
April 3, 2021 at 10:05 PM delete

poker online dengan pelayanan CS yang baik dan ramah hanya di AJOQQ :D
ayo di kunjungi agen AJOQQ :D
WA;+855969190856

Reply
avatar