MAKANMAKANMAKAN


Seringkah kita santap makan sambil mengerjakan sesuatu? Ya seringlah, bahkan mungkin sudah terbiasa. Agaknya kebiasaan seperti itu perlu ditinjau ulang. Bukansaja
 karena dapat menjadi salah satu penyebab obesitas, tetapi ada alasan yang lebih substantif dari itu.

Lihatlah anak kita yang terus ngemil sementara tangannya tetap aktif menggenggam stick game atau gadget. Tangan merogoh kantong snack lalu menyuapkan ke mulut nyaris mekanik, tanpa kesadaran. Begitu kunyahan habis, secara otomatis tangan memasok lagi, dan itu dilakukan secara refleks tanpa mengganggu konsentrasinya bermain game. Setelah capek bermain, dan terserak sejumlah bungkus makanan ringan di sampingnya, dia beranjak. “Laper nih, mau makan dulu,” katanya.

Betapa kerap di antara kita yang makan sambil nyetir di tengah kemacetan lalu lintas. Betapa sering kita makan sambil tetap mengerjakan pekerjaan kantor. Dulu ketika masih menjadi wartawan harian sore, setiap sarapan selalu saya sambi dengan membaca beberapa koran pagi. Ini untuk bekal mengikuti rapat  redaksi yang berlangsung pukul tujuh, sebentar lagi.

Karena semua gerakan menyuapkan makanan ke mulut terjadi secara mekanistis, sangat mungkin makanan yang masuk ke perut menjadi tidak berarti. Dia lewat begitu saja dari tenggorokan ke perut, tanpa memberi efek apa-apa, selain menambah lemak tubuh. 

Psikolog Drs. Asep Haerul Gani mengkritik aktivitas makan seperti itu. Dalam sebuah kajian via daring, Pengasuh Pondok Pesantren Psikoterapi di Saung Bujangga Manik Tasikmalaya ini menyarankan agar kegiatan makan hendaknya dilakukan dengan lebih bijaksana. Lalu dicontohkan kearifan lokal dari suku Baduy dalam soal ini. 

Dikatakan,  suku Baduy di pedalaman Lebak, Banten, itu kalau makan dikerjakan dengan kesadaran penuh. Makanan di hadapannya diajak berbicara, ini sebagai bentuk terima kasih kepada makanan dan ungkapan rasa syukur kepada alam yang bermurah hati menyediakan segala kebutuhan untuk manusia. Makanan dikunyah tanpa tergesa.  “Cara makan seperti itu, bahasa kerennya adalah  mindfulness eating,” kata Kang Asep kepada saya lewat WA. 

Dulu, sebelum pandemi, saya masih sering berkoordinasi dengan teman dan mitra kerja  di meja makan. Kadang dalam sehari bisa geser dari satu tempat ke tempat kuliner lain karena urusan pekerjaan. Semua aktivitas itu selalu disertai dengan makan-makan atau ngopi, hingga perut terasa begah. 

Maka makan minum bukan lagi penawar lapar dahaga, tapi menjadi satu kesatuan dengan meeting, semacam ritual yang harus ada dalam rapat, menjalin relasi, bertransaksi, atau sekadar ngobrol cangkrukan.  Bahkan boleh jadi makan telah menjadi hobi atau pelepas sahwat perut semata. 

Malah  mungkin juga berguna untuk “ngeksis” . Sebelum disantap hidangan wajib difoto dulu, lalu segera dijadikan status di medsos. Lalu muncullah fenomena video aksi mukbang, tontonan orang mengonsumsi makanan dengan ugal-ugalan dan ditayangkan secara online. 

Agaknya setiap orang punya cara makan sendiri-sendiri. Ada yang menaati anjuran Kanjeng Nabi, hanya makan apabila sudah merasa lapar dan akan berhenti sebelum kenyang.  Almarhum ayahku kalau makan biasa mengangkat satu lututnya menempel ke perut (jigang). Sekilas terlihat kurang sopan, tetapi bapak punya alasan sendiri. Dengan posisi kaki seperti itu, otomatis akan menekan perut hingga membuat perutnya segera terasa penuh. Bukankah seyogyanya lambung cukup diisi dengan sepertiga makanan, sepertiga air, dan sepertiga lagi dikosongi untuk jatah udara? 

Temanku Mas Suhartoko mengaku sesekali berlatih kontrol diri di saat menghadapi prasmanan pada sebuah jamuan atau kondangan manten. Dipandangnya dengan seksama aneka menu yang terhampar di meja besar. Jika nafsunya menghendaki makanan tertentu, justru tidak dituruti. Akhirnya yang diambil makanan sekadarnya. Aneh juga, di saat undangan lain losdol menerapkan aji mumpung dia malah mengekang  diri. 

Jika direnung-renung, sebenarnya makan minum bukanlah urusan sederhana. Makan adalah peristiwa yang luar biasa. Ini menyangkut rezeki, kenikmatan, dan keberkahan. Agama tidak segan menyebut nikmat makan dan nikmat Islam sebagai dua hal yang patut disyukuri.  Penderita Covid-19 akan mengakui betapa tersiksanya saat kehilangan indera pengecap dan drop nafsu makannya. 

Bahkan Gus Baha, dalam salah satu tausiyahnya menyebut, orang awam bisa naik derajatnya menjadi wali gara-gara makanan. Dikatakan, untuk menjadi wali lewat jalur salat malam jelas berat, lewat laku puasa juga tidak semua orang bisa. “Masih ada jalur satu lagi, yaitu lewat makanan,” ujar ulama asal Desa  Narukan, Kragan, Rembang itu seraya tertawa agak terbahak. 

Caranya, Gus?  Ya kalau makan jangan asal makan. Proses makan hendaknya dijiwai. Dilakukan dengan tenang. Lebih beradab dengan duduk. Dikunyah sampai lembut tentu lebih baik. 

Sak pulukan bersyukur, sak pulukan maneh bersyukur maneh,” katanya. Maksudnya, setiap suapan hendaknya diikuti dengan rasa syukur.  

Dengan demikian makan menjadi aktivitas bermakna. Lewat makan muncul kesadaran betapa manusia begitu lemah dan dhaif. Tanpa presiden manusia bisa hidup, tetapi tanpa makan minum manusia akan kelimpungan dan binasa. Pertanyaan substantifnya: penting mana kehadiran presiden dengan kehadiran makanan? Lewat nasi akan muncul kesadaran akan kemurahan Ilahi,  rasa syukur atas rezeki yang mengalir tak henti-henti. 

Jadi, masihkah kita merasa nyaman,  mengunyah makan sambil tetap mengerjakan bermacam pekerjaan, karena selalu dikejar deadline? Atau masihkah kita tetap asyik makan-makan sembari bikin bisnis plan, meski berpotensi menyerobot jatah “makan” orang lain? 

adrionomatabaru.blogspot.com

 Foto dipuluk dari kompasiana.com dan merdeka.com



 

Previous
Next Post »