CORONA DI MATA BOCAH

 
Ketika orang-orang bergembira menikmati hari-hari libur tahun baru, saya asyik tenggelam dalam dunia pemikiran anak-anak. Membaca 100 lebih karya tulis siswa sekolah inovatif SD Maarif Jogosari, Pandaan, Kab. Pasuruan. Mereka mengungkapkan pengalaman, curhatan, kreativitas, dan pemikirannya tentang Covid-19 yang tak kunjung reda. Rencananya karya tersebut akan kami himpun menjadi sebuah buku antologi.  

 Virus Corona memang bikin repot semua. Anak-anak juga tidak kalah susahnya. Sekolah model online ternyata tidak sesenang belajar di kelas bersama teman-teman sebayanya. Tetapi mengeluhkan keadaan tidak banyak gunanya. Dalam konteks pendidikan, justru yang harus dilakukan adalah terus bergerak, berkreasi, dan memanfaatkan situasi untuk kepentingan pembelajaran. Pandemi Covid-19 adalah peristiwa dahsyat yang terjadi di muka bumi ini. Jadi, mengapa pengalaman seperti itu tidak dijadikan saja sebagai materi dan bagian dari pembelajaran?

 Kiranya suka duka anak di tengah pandemi layak untuk dicatat. Dan itu sebaiknya dicatat oleh mereka sendiri. Siswa perlu didorong untuk berani mengekspresikan perasaan dan kreativitasnya tentang pengalaman menjalani kehidupannya sehari-hari di bawah ancaman wabah.

Alhamdulillah, kini setumpuk karya ada di hadapan saya. Dari tulisan mereka tergambar betapa anak-anak benar-benar terdampak. Mengalami kesulitan belajar dan dilanda kebosanan. Tidak masuk sekolah yang awalnya disangka sangat menyenangkan ternyata lama-kelamaan membuatnya jenuh, belum lagi harus sering kena marah mama papa, gara-gara tugas sekolah dan belajar daring.

Tetapi yang menarik, karya mereka tetaplah khas anak-anak: Ramai, nano-nano aneka rasa dunia bocah.  Tapi apapun cerita mereka semua bermuara pada satu titik: “kami rindu sekolah!”

 Ada siswa yang bercerita pengalaman orang tuanya terpapar Corona, sehingga dia harus ikut rapid test dan diungsikan ke rumah neneknya. Ada yang kaget melihat tetangganya dijemput aparat dengan mengenakan APD lengkap, hingga kisah sedih merasakan khitan tanpa dikunjungi teman. 

Namun ada juga sejumlah anak yang fine-fine saja. Mereka kayaknya  berasal dari lingkungan keluarga yang longgar dengan protokol kesehatan. Anak-anak itupun bebas bermain dengan teman-temannya, berburu bunglon hingga ramai-ramai menjaring ikan di sungai.

Format karyapun bermacam-macam. Ada yang menulis prosa, puisi, cerpen, maupun pantun. Ada pula yang membuat poster, cerita bergambar, dan komik pendek (mereka memang dibebaskan memilih medium ekspresinya).

Harapannya aktivitas ini memberi pembelajaran kepada anak-anak bahwa keterampilan menuliskan sesuatu  yang dialami sangat penting untuk modal menempuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. 

Tidak usah berambisi agar kelak mereka menjadi penulis andal atau pengarang ternama. Sebab skill berbahasa itu dibutuhkan di bidang apa saja. Mengasah logika tidak hanya lewat mata pelajaran Matematika saja, tetapi juga lewat keterampilan berbahasa.

Dengan menulis, anak berlatih menguraikan gagasan, menata pikiran, dan membangun argumentasi yang logis. Kelak bekal ini pasti akan berguna di saat dia ingin mengutarakan aspirasi, membuat laporan tertulis, bertransaksi, bernegosiasi, hingga melakukan sosialisasi maupun persuasi.  

Akhirnya, tugas saya sekarang adalah membantu mewujudkan impian mereka. Sudah lama kepingin punya buku sendiri, seperti yang sering mereka baca di perpustakaan sekolah, buku serial inspiratif  “Kecil-kecil Punya Karya.” (*)

 adrionomatabaru.blogspot.com





Previous
Next Post »