Tak hanya masyarakat yang punya kelas sosial. Makanan
sate pun punya kasta. Sate daging tanpa lemak yang ditusuk gede-gede itu sate
untuk wong sugih. Lantas level di bawahnya
ada sate campur gajih. Berikutnya ada sate laler, lantaran ukuran dagingnya cuma
sebesar lalat.
Agaknya sate yang menduduki strata terbawah, sate kasta
sudra, adalah ini: Sate Kere. Tidak jelas kenapa dipakai sebutan yang agak “ngece”
seperti itu. Mungkin lantaran bahan bakunya yang hanya terdiri dari koyor sapi
(semacam lemak atau otot) sehingga hanya cocok untuk kelas menengah bawah.
Lemak koyor berwarna putih gajih itu bila dibakar perlahan
berubah warna menjadi coklat muda transparan. Sehingga tampilannya mirip sate cecek
(kulit sapi). Lalu diberi bumbu, disajikan bersama potongan ketupat. Begitu tersaji,
meski namanya sate kere, jangan keburu apriori. Uji dulu di mulut, sebab lidah
tak pernah bohong. Hem... apa saya
bilang? Nyamleng, lembut, dan tidak ngendal, kan.
Maka, manakala Panjenengan sudah lelah muter-muter belanja
batik atau kain lurik di pasar Beringharjo Yogyakarta, berjalanlah menuju pojok
selatan pasar itu. Lantas segera duduk ndoprok di dingklik plastik yang
tersedia, lantas pesan sate kere berpiring
pincuk daun pisang.
Rasakan nikmatnya santap makan emperan bersama warga
biasa, tanpa perlu berlagak kaya. Sebab kenikmatan tidak terletak pada lokasi,
brand, dan prestise, tetapi tercecap di lidah lalu bersemayam dalam hati yang gembira.
Lupakan sejenak hipertensi, kolesterol, atau asam urat.
Sesekali melanggar pantangan tidaklah mengapa. Dijamin 100% aman, asal Anda tidak
pergi chek up ke lab. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sumber foto:
dok adri dan koranyogya.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon