Setiap memasuki ibukota Jakarta, saya selalu
berusaha hadir dengan tanpa banyak pretensi dan macam-macam ekspektasi. Pokoknya
merasakan apa saja yang ada di sekitar, seraya meraba-raba: di mana ya letak
nikmatnya hidup di jantung kota metropolitan ini? Tetapi, setelah berulang kali
kemari, saya belum juga mendapatkan jawaban yang memadai.
Mungkin karena saya memang tipikal wong ndeso. Atau boleh jadi lantaran
saya masuk dari jalur “bawah”, sehingga tidak menemui gemerlap dunia atas atau gelimang
fasilitas supermewah kaum berada. Tetapi bukankah salah satu ukuran kualitas
sebuah kota, justru terletak pada kenyamanan layanan publik dan tersedianya ruang
bersama bagi warga biasa? Bukankah polusi udara dan kemacetan lalu lintas
menimpa siapa saja, tanpa pandang strata sosial ekonomi penghuni kota?
Begitu turun di bandara, kita sudah harus main “kucing-kucingan”,
jika hendak memesan taksi online.
Harus pinter-pinter bikin janjian agar semua lancar, sama-sama diuntungkan, dan
driver selamat dari hajaran penguasa bandara. Mengapa calon penumpang yang berhak
mendapat tarif murah harus dihadang sejumlah kendala? Sudahlah, jawabannya bisa
panjang dan debatable.
Di Jakarta untuk suatu keperluan, bergeser dari
satu titik ke titik berikutnya, kita musti berfikir cermat dan bersiasat, agar hemat.
Bisa diawali dengan order taksi online
atau ojol (ojek online) untuk menuju
kawasan pengumpan: terminal bus atau stasiun kereta api terdekat. Lalu lompat
ke KRL Commuter. Harus siap berdesakan dan “upacara bendera” (berdiri
maksudnya), karena jumlah tempat duduk amat terbatas, itupun untuk wanita, anak, difabel, dan manula. Turun KA
bisa pindah ke busway Transjakarta. Tak
perlu berharap dapat tempat duduk, terutama pada jam-jam sibuk.
Meski kondisinya demikian toh moda angkutan massal busway ini tetap digemari. Tarifnya
murah, cuman tiga rebu lima ratus perak. Sekali bayar, sudah bisa oper bus berkali-kali sesuai
tujuan. Kebijakan satu karcis untuk satu
trip terasa nyata manfaatnya. Nilai plusnya lagi, dengan bus panjang ini kita
bisa meluncur lancar, bebas macet, lantaran diberi lintasan tersendiri.
Berada di sela himpitan penumpang, saya berupaya
menghayati kenyataan. Menangkap banyak kesan dan pelajaran. Betapa di sini, hidup
harus dilakoni dengan bekerja amat keras dan daya kompetisi tinggi.
Kaum pekerja di Jakarta sudah harus berangkat dari
rumah sebelum mentari pagi terbangun. Bergegas-gegas di jalanan macet demi
mengejar cheklock kantor, dan nanti
pulangnya baru nyampai di rumah ketika matahari sudah lama menghilang. Lalu kapan
istirahatnya? Masih adalah waktu buat bercengkerama, apalagi bercinta? Tertidur
sebentar dalam kondisi setengah KO, esoknya sudah digugah jerit alarm smartphone yang tak kenal belas kasihan.
Jangan salah, mereka yang tinggal di pinggiran
Jakarta itu bukanlah orang miskin tetapi juga orang yang kaya. Lantas mengapa
mereka tidak berdomisili di tengah kota saja? “Oo, tengah kota itu bukan untuk orang
kaya, Mas. Tapi untuk orang KAYA RAYA,” jawab teman PNS yang bekerja di kawasan
Senayan. Sebuah joke satire yang bikin senyum kecut.
Dulu, ketika saya masih muda, sempat tebersit
keinginan untuk mengadu nasib di Jakarta. Tetapi maju mundur ndak jadi-jadi karena
banyak pertimbangan ini dan itu. Kini saya merasa cukup menjalani sebagai “tamu
periodik” saja di metropolis ini. Mengambil pekerjaan dari sini, sebagian digarap
di rumah, lantas setelah selesai diantar kembali ke mari.
Dengan demikian saya bisa ulang-alik menikmati dua
suasana sekaligus. Hiruk-pikuk kota besar yang dapat menyulut semangat bekerja,
serta suasana guyub kampung pinggiran kota yang dapat dimanfaatkan untuk menjaga
kewajaran hidup dan kewarasan mental. Satu lagi, dengan tidak menjadi mukimin Ibukota, saya dapat bonus istimewa:
boleh menjalankan shalat jamak qoshor.
Sudah setengah jam lamanya saya duduk termangu di
ruang tunggu Terminal 3 Soekarno Hatta. Menikmati bandara yang tinggi, adem,
dan supermegah, tetapi tetap dalam konteks kenikmatan “rasa singgah”. Karena saya sedang menanti nikmatnya “rasa
pulang”, yang sebentar lagi akan diantar
oleh si Garuda gagah. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon