Puncak dari segalanya adalah
kesederhanaan. Tidak banyak orang yang mau memahami kebenaran ini. Juga makin
tidak banyak lagi orang yang sikap hidup dan perilakunya mencapai tataran ini.
Apalagi kita hidup di zaman “branded”,
di mana kemewahan, prestise, dan ekstasi
sosial lainnya adalah “kebutuhan” yang wajib dikejar siang dan malam.
Dalam atmosfir seperti ini di
mana letak kesederhanaan? Masih adakah pemuja kebersahajaan? Sederhana dalam
sikap dan prinsip hidup kayaknya sudah tidak mainstream lagi. Tetapi di antara sedikit pemuja kesederhanaan itu
ada Sapardi Djoko Damono. Lewat untaian kata yang lembut dan abadi, dia berpuisi:
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu.”
Tempo hari, seorang kawan, Ratna
Azis Prasetyo, juga menulis dalam statusnya di FB: Cantik itu sederhana, sederhana itu cantik. # serius. Saya suka dengan status itu. Karena suka,
maka ide tulisan inipun terpantik dan berlompatan keluar.
Yang jelas, kini segala
kesederhanaan telah berkonotasi dengan keserbakurangan. Keluarga sederhana
adalah eupimisme dari kata keluarga miskin. Pendeknya kata sederhana telah
usang dan bercitra ndeso. Penjahit
sederhana, tukang cukur sederhana, dan
warung sederhana lazimnya hanya dipakai oleh pengusaha kelas kaki lima.
Padahal sejatinya, kesederhanaan
adalah puncak dari segalanya. Sederhana dalam bertutur, bertindak, hingga
berfikir. Dunia intelektual dapat dijadikan sebagai contoh awal. Ketika masih
berstatus mahasiswa, betapa sering kali rumit pemikiran kita. Sementara orang
cerdik-cendekia, beberapa profesor yang kukenal, justru mampu menjelaskan
teori-teori konseptual yang njimet dalam bahasa yang lugas, runtut, sehingga
gampang dicerna otak awam.
Demikian juga soal kesederhanaan
berpenampilan. Ilmu psikologi menengarahi bahwa pribadi dengan penampilan yang
berlebih cenderung mengidap problem psikologis. Mereka yang kelewat “jaim”
(jaga imej) boleh jadi pertanda upaya untuk menutupi kepercayaan diri yang labil.
Semakin matang seseorang semakin
tidak neko-neko dandanannya. Anak ABG
begitu banyak mengenakan umbai-umbai asesori di tubuhnya. Maka seiring dengan
kematangan jiwa, dia akan berdandan secukupnya. Kalaupun ada hiasan akan
diletakkan secara proporsional sehingga terkesan elegan. Bahkan ada yang berani
menampilkan jati dirinya, tanpa peduli tren dan tanpa takut dikatai salah
kostum atau ketinggalan zaman.
Dan, bukankah puncak dari busana adalah pakaian ihram? Pakaian dengan tunggal warna, tak berjahit pula, yang menyimbolkan kesetaraan insan dan pengingat akan kafan kematian. Dalam balutan busaha bersahaya itulah kita bertawaf dengan lelehan airmata. Mengelilingi batu hitam Ka’bah yang amat sederhana namun agung.
Dan, bukankah puncak dari busana adalah pakaian ihram? Pakaian dengan tunggal warna, tak berjahit pula, yang menyimbolkan kesetaraan insan dan pengingat akan kafan kematian. Dalam balutan busaha bersahaya itulah kita bertawaf dengan lelehan airmata. Mengelilingi batu hitam Ka’bah yang amat sederhana namun agung.
Sak Madya
Puncak dari segalanya adalah kesederhanaan.
Mengapa lagu-lagu Koesplus menjadi abadi? Salah satu penyebabnya adalah karena lirik
dan lagunya bersahaja tetapi enak di telinga. Sepakbola menjadi tontonan paling
favorit sepanjang masa karena prasyarat bermain dan rule of the game-nya sederhana
dan gampang dipraktikkan oleh semua usia di seluruh dunia.
Laku hidup sederhana juga
merupakan puncak. Dalam bahasa agama ada anjuran perilaku yang disebut qona’ah dan zuhud. Pengamal laku ini jalannya sudah menunduk, mengikuti ilmu
padi. Senantiasa merasa cukup sehingga berperilaku sekadarnya. Sak
madya wae. Karena lagaknya yang seperti orang awam itulah maka banyak mata
terkecoh, tak sanggup melihat mutiara di balik penampilan lahiriahnya.
Candi Borobudur tampaknya juga
dibangun dengan kerangka fikir seperti itu. Pada dinding candi level terbawah
terpampang ornamen dan ukiran yang begitu cantik dan rumit. Makin naik tingkatnya
makin terasa unsur kesederhanaannya. Bahkan pada level puncak yang ada hanyalah
kepolosan batu stupa. Hening dan dalam.
Dalam falsafah Jawa, terdapat
konsep lengser keprabon, madeg mandito.
Seorang raja bijak yang telah mencapai puncak kejayaan pada akhirnya memilih
menanggalkan mahkota, meninggalkan semua kemewahan istana. Lalu sang baginda pergi
memasuki dunia sepi, alam pertapaan, menjadi seorang pendeta.
Sejatinya yang dibutuhkan manusia
memang sederhana saja: sandang, pangan, papan, dan seger waras slamet. Tidak berlebihan dalam mengonsumsi makanan
justru menyehatkan, sebab semua makanan yang lezat di lidah kok hampir pasti
tidak bagus di kesehatan.
Nafsu keinginanlah yang membuat
orang jadi melambung tinggi tak peduli batas. Cecaran iklan dan gaya hidup
materialis-hedonis mengacak-acak semuanya sehingga menjadi manusia tidak
sederhana lagi. Ini memberatkan. Orang mengeluh setiap saat, merasa selalu
kurang meski bergaji tinggi. Seperti rasa haus yang tak berkesudahan.
Akhirnya, puncak dari sebuah
cita-cita pun sederhana. Bukan lagi ingin menjadi ini menjadi itu, memecahkan
rekor ini rekor itu. Sebab cita-cita pada ujungnya adalah sebentuk kepedulian.
Bukankah orang yang paling mulia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain? Bila
sudah demikian, cita-cita menjadi ekspresi dari kehendak untuk mengabdi. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sumber foto: geviral.com
Sign up here with your email
3 comments
Write commentsQS. Al-Furqon.67 :
Reply" Dan mereka (Hamba Allah) ketika berbelanja tidak berlebihan dan mereka bukanlah kikir dalam berbelanja. Diantara dua hal ini seimbang".
terima kasih masukannya Pak....nanti langsung saya kutib untuk penyempurnaan tulisan hehe
ReplyWebsite paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplySistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^
EmoticonEmoticon