Kunjungan ke desa, selama mudik, bukanlah sekadar ritual
tahunan untuk salam-salaman. Sebab mendatangi desa juga merupakan sebuah ziarah
masa. Sejenak berada di desa waktu serasa ditarik mundur sekian puluh tahun
lamanya. Seperti saya rasakan saat ini karena berada di kampung halaman istri
saya, di Desa Sebayi, Kec. Saradan, Kab. Madiun.
Di desa ini detak waktu masih dapat ditebak melalui
penanda alam. Menjelang Subuh, ditandai dengan suara jago kluruk
bersahut-sahutan. Lalu, seusai kumandang azan di
surau, terdengar puji-pujian dan syair pangeling-eling:
“Eman temen eman wong sugih ora sembahyang.
Nabi Sulaiman sugih ning sregep sembahyang.”
Gemerlap embun di rerumputan membuka suasana pagi.
Sapi melenguh di kandang, seekor pedhet
menyundul-nyudul puting susu induknya. Ayam betina mencakar-cakar tanah
mengajari kuthuk-kuthuknya untuk cekatan mencari nafkah. Pohon randu memunculkan kembang
karuk, sebagai kabar bahwa musim bedhidhing (kemarau) telah masuk.
Kemudian warga setempat pun mulai beraktivitas. Ada
yang ke sawah dengan membawa sabit dan pikulan.
Mereka berjalan menyusuri pematang dengan tanpa alas kaki. Ya, orang desa
benar-benar menginjak bumi Pertiwi dalam arti harfiah maupun dalam makna
kiasan. Sementara kita semenjak bocah tak pernah lepas sandal sepatu. Setelah
menjadi dewasa dan terpelajar kian tidak membumi, pola pikir menjadi kebarat-baratan, dan cara berbusana
menjadi kearab-araban. Kita terpesona dengan wacana global sehingga abai dengan
kearifan lokal. Kini orang “modern” disadarkan kembali bahwa berjalan nyeker tanpa alas kaki ternyata baik
untuk raga. Dan menginjak embun pagi, katanya, bisa dijadikan terapi.
Sejauh mata memandang terlihat hamparan padi yang
tengah menguning. Buah padi merunduk ikhlas untuk segera dipanen. Di samping
sana ada deretan tebu sejuk menghijau. Pemandangan longshoot itu benar-benar membuat lensa mata menjadi memipih, lega.
Sementara biasanya pandangan kita selalu mencembung lantaran menatap close-up tembok-tembok gedung, bokong
mobil orang di saat macet, monitor tivi, dan layar gawai. Berlama-lama melihat
panorama desa dapat menyehatkan mata.
Halaman setiap rumah warga relatif lapang karena
difungsikan untuk menjemur gabah dan jagung. Juga bisa digunakan bocah balita belajar sepeda atau berkejar-kejaran dengan leluasa. (Ah, ini salah satu impian
sederhana saya yang belum juga kesampaian lantaran saya tinggal di perumahan
tanpa latar depan). Desa dengan jelas telah mengajarkan bahwa manusia tidak
hanya butuh uang tetapi juga butuh ruang.
Di sini masih kujumpai camilan pala kependem macam uwi dan ubi kayu yang supermedhuk. Masih ada nasi pecel dibungkus daun jati. Masih ada khotbah
Jumat pakai bahasa Jawa halus. Tetapi desa bukanlah benda statis. Dia organisme
yang hidup dan berubah. Bahkan bisa berkembang di luar dugaan hingga membuat
orang kota kecele dibuatnya.
Kini agaknya desa dan kota bukan lagi dikotomi. Bukan
dua titik ekstrim yang secara diametral bertentangan. Kota bukan simbol kemajuan
di satu ujung dan desa lambang keterbelakangan di ujung lainnya. Bahkan dalam
banyak hal kini lebih nyaman hidup di desa. Fasilitasnya mulai memadai. Jalan-jalan
sudah pada dihotmiks, walau sebagian berupa
fasum “rayuan gombal amoh” dari para calon kandidat Pemilukada.
Warga Sebayi sudah tidak mandi di sungai lagi,
karena di setiap kamar mandi sudah terpasang kran. Air yang mengucur amat
jernih dan deras karena berasal dari sumber air di bukit. Jelas jauh
kualitasnya dengan air produksi PDAM kota yang berasal dari Instalasi Penjernih
Air (IPA).
Banyak channel
stasiun televisi dapat tertangkap jernih di desa ini, kecuali dua stasiun
televisi berita besar Jakarta. Tidak
apalah. Malah ada bagusnya, warga jadi tidak banyak terpapar berita tendensius
yang dapat mengganggu akal sehat.
Yang jelas desa banyak menyediakan ruang terbuka
yang melegakan. Tak ada kemacetan. Udara bebas polusi, terbukti aneka kupu
masih hilir mudik dan berayun-ayun di tangkai yang lemah. Listrik sudah masuk,
jaringan internet sudah on. Catatan
inipun sukses kuunggah ke dunia maya dari sini, meski speednya tidak secepat 4G.
Teknologi telah membikin desa dan kota tidak lagi
hitam-putih. Kota bukan identik dengan kesuksesan dan desa tidak sama dengan
kegagalan. Mitos kesuksesan hanya terletak di kota besar perlahan mulai runtuh.
Gemerlap kota mulai memudar daya hipnotisnya seiring dengan kesadaran dan
bertambahnya wawasan warga dusun yang telah melek informasi.
Bahkan ketika menuliskan kata kesuksesan untuk
orang kota seharusnya masih perlu diberi tanda petik. Sebab masih bisakah disebut
sebuah kesuksesan bilamana ternyata diperoleh dari hasil korupsi, tipu-tipu, memeras,
atau menjilat? Maka sepanjang menyangkut kebahagiaan, dan bukan kepemilikan
harta benda, agaknya desa lebih menjanjikan daripada kota.
Bila malam menjelang jatuh. Unggas mulai masuk ke kandang.
Selepas pukul sepuluh sanak famili keluarga besar kami tidur berjajar seperti
pindang. Jangkrik mengerik, serangga malam dan belalang daun menyuarakan orksetra alam. Lalu selebihnya
adalah keheningan.
Kiranya
hening juga fasilitas mewah yang disediakan desa guna meredam bising kota. Sungguh
manusia tidak hanya perlu bergerak, tapi juga butuh diam. Tidak hanya kerja
tetapi juga butuh jedah. Tidak hanya fokus produksi juga perlu diimbangi kontemplasi.
Setiap gejolak dinamika membutuhkan pengendapan. Itulah sebabnya kemudian orang
melakukan meditasi, nyepi, semedi, ihtikaf, tafakur, ataupun salat malam.
Malam
di Desa Sebayi semakin dalam. Gelap hadir sempurna karena tidak direcoki lampu
mercuri dan cahaya billboard iklan raksasa. “Jangan takut akan gelap, sebab
gelap akan melindungi kita dari kelelahan,” begitu dendang penyanyi Duta SO7
bersama Tasya. (adrionomatabaru.blogspot.com).
Sugeng
Riyadi. Sampai jumpa di lain tulisan, setiap Senin dan Kamis, di alamat yang
sama. InsyaAllah. Foto
ilustrasi karya Didik Yusmawardi.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon