Gema
takbir itu selalu sama. Meng-Akbar-kan nama Allah. Tetapi bisa berbeda efeknya untuk
setiap telinga. Itu antara lain bergantung kepada usia, tingkat pengetahuan, pengalaman,
penghayatan terhadap kehidupan, hingga suasana batin yang melingkupinya.
Sudah
50 kali lebih saya mendengar kumandang takbir Idul Fitri yang sama, tetapi
senantiasa menerima sentuhan yang berbeda-beda.
Takbir telah membahana melintas segala masa. Ada takbir masa bocah, takbir
remaja, takbir saat dewasa, hingga ada takbir menjelang usia senja. Beruntung
saya merasakan itu semuanya.
Ketika
masih bocah, suara takbir adalah pekik kegembiraan. Beduk masjid bertalu-talu. Emak
membangunkanku, “Tangi..tangi.. Riyaya…
adus..kana!” Saya dan kakak segera bangkit meski kantuk masih berat menggelayut.
Salah sendiri, saya tidur kelewat malam gara-gara ikut bersenang-senang
melakukan takbir keliling desa dengan membawa obor disertai pengeras suara
sederhana.
Tapi
kata Riyaya yang diucapkan emak bagaikan
mantra sakti yang sanggup menggusur semua kemalasan. Iyee, ini Hari Raya, Rek.
Sebentar lagi saya akan mengenakan baju baru, yang sudah kupegang-pegang
semenjak kemarin. Terus terang waktu itu kami termasuk dalam kategori keluarga
yang membeli pakaian setahun sekali. Itupun masih disertai dengan ancaman edukatif
dari Bapak, “Dibelikan baju, kalau kamu puasanya nutug (penuh).”
Meski
begitu toh saya masih bersyukur karena dibelikan baju warna bebas. Tidak sampai
seperti kawan sekampungku yang dibelikan baju putih atau baju cokelat Pramuka.
Bisakah kalian membayangkan memakai seragam sekolah di saat Lebaran? Tapi
itulah realita zaman dulu. Orang tuanya kepingin
menghemat, ngiras-ngirus. Membeli
baju multifungsi: untuk merayakan Idul Fitri sekaligus untuk sekolah. Bahkan
orang tua dulu umumnya kelewat “visioner”.
Kalau membelikan celana mesti kebesaran. Penggunanya wajib pakai sabuk, sampai mincuk-mincuk, agar tidak melorot dan terlihat burungnya.
“Beli yang gede saja, biar bisa dipakek
sampai kelas 6 nanti,” kata mereka membenarkan tindakan naifnya.
Seusai
shalat Ied, kami rombongan anak-anak aktif bersilaturahmi. Door to door. Harus berani mengucapkan salam, membuka pintu,
bersalaman, lalu duduk manis di sofa rumah ke tetangga. Kami menyebutnya unjung-unjung atau galak-gampil. Kue di meja tidak terlalu menggoda, sebab kami sesungguhnya
lebih butuh mentahan saja. Saku
celana pendekku mengembung karena terisi uang yang dijejalkan dengan
serampangan. (Ah, kecil-kecil kok ya sudah
punya akal bulus. Jangan-jangan budaya meminta upeti oleh oknum pejabat
itu berakar dari pengalaman masa kecil
seperti ini.)
Di
sudut gang kami berhenti dan menonton pesta petasan bersama tetangga. Ratusan
petasan dirangkai sepanjang lima meteran lalu digantung di ujung galah bambu panjang.
Bunyi letusan berentetan seolah menghadirkan suasana pertempuran yang memekakkan
telinga. Kertas mercon berhamburan mengotori halaman sang juragan kaya. Uniknya,
serpihan kertas itu tidak akan disapu beberapa hari ke depan. Ketebalan kertas
yang berserak di tanah seolah menjadi mengabarkan betapa tebal dompet si pemilik
halaman rumah itu.
Ketika
dewasa, saat saya kerja di media koran dan kemudian televisi, gema takbir Idul
Fitri memberi kesan berbeda lagi. Harus kuakui, suara takbir menjadi terdengar biasa-biasa
saja. Bahkan getarannya tidak menyentuh sanubari. Mungkin karena yang ada di
pikiran cuma satu yaitu bagaimana mencari bahan liputan yang menarik untuk disajikan
pembaca maupun pemirsa.
Ketika
takbir Allahu Akbar bersahut-sahutan
di mana-mana, saya dan teman seprofesi justru sibuk hilir mudik mengamati keadaan
dan mencatat di notes kecil. Sesekali spontan memotret adegan yang unik.
Misalnya jamaah bocah yang kencing berdiri, jamaah berpenampilan aneh, atau pak
tua yang mendekur saat khotbah berlangsung.
Bila
Idul Fitri menjadi hari libur keluarga, maka bagi orang media adalah saatnya
bekerja keras. Harus bangun sangat pagi dan musti tiba di “tekape” sebelum acara
dimulai. Sebagai sebuah tim, kami berbagi tugas. Ada yang harus bergegas ke
tanah lapang tempat di mana Gubernur atau Walikota menjalankan shalat. Ada yang
meluncur ke rutan Medaeng untuk meliput kegiatan tahanan berlebaran. Tidak
lupa, harus ada reporter yang berlari naik ke tanggul penahan lumpur Lapindo Porong, untuk merekam airmata
korban bencana yang menggelar shalat Ied sembari mengadukan nasibnya kepada Yang
Maha Kuasa.
Tahun
2016 ini, suara indah takbir itu bergema kembali. Saya mengajak anak dan istri
untuk datang ke masjid lebih pagi. Bukan dalam rangka liputan, karena saya
tidak bekerja di media lagi. Saya hanya ingin lebih lama berada di antara ratusan
jamaah yang tengah mengagungkan asma Allah. Saya ingin larut dalam lautan takbir,
tahmid, dan berzikir mengakui kebesaranNya.
Perlahan-lahan
suara koor takbir merambat menyentuh dada.
Dalam suasana seperti itu saya jadi teringat dengan Emak dan Bapakku yang sudah
tiada. Sebagai anak saya merasa masih belum mampu menyenangkan mereka selama
hidupnya. Permintaan dan nasihat kedua orang tua pun belum sanggup kujalani
semua. Emak selalu mewanti-wanti: dadia wong sing jujur. Sepotong amanah itupun hingga kini belum
sepenuhnya dapat kutunaikan. Saya masih sering lembek, kompromis, malah kadang ikut
mencurangi kebenaran, demi mendapatkan penghasilan.
Terbayang
peluh Bapak yang selalu bekerja keras. Sosok yang rela menekan keinginan
membeli ini-itu hanya demi mencukupi biaya pendidikan kami berdua. “Sing penting mbayar sekolah dulu,”
katanya, “kalau nanti uangnya tak tersisa, ya sudah kita puasa saja.” Sebuah
ucapan yang menggambarkan betapa kuat tekad Bapak untuk memintarkan
anak-anaknya.
Saya
makin ngelangut. Allahuakbar Allahuakbar, Lailahaillah huallahuakbar, Allahuakbar
walillahilham. Tahu-tahu pandanganku
mengabur karena terhalang genangan air yang memenuhi kelopak mata. Kuseka mata yang
terus membasah, entah untuk berapa kalinya. Di tengah lantunan takbir jamaah
yang mengguncang, saya merasa telah menjadi putra yang minim bakti. Kucium
tangan keduanya berharap akan ampunan, meski mereka sudah berada di alam
kelanggengan.
(adrionomatabaru.blogspot.com). Sugeng Riyadi,
sampai jumpa dengan tulisan lain, setiap Senin dan Kamis, di alamat yang sama.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon