Bagaimana rasanya masuk sekolah hari
pertama bagi seorang bocah? Mungkin S2C atau senang-senang cemas. Senang
karena dia akan menempuh pendidikan baru serta mendapat pengalaman baru. Tetapi
juga cemas karena dia memasuki wilayah baru, keluar dari zona nyamannya.
Itulah sebabnya sebabnya siswa
baru, untuk sekolah SD ke bawah, seyogyanya dikawal orang tuanya ketika mulai menapakkan kaki di halaman sekolah barunya.
Apalagi Mas Menteri Anis Baswedan (kata
teman-teman di Jakarta, Mendikbud yang satu ini lebih suka dipanggil Mas
daripada Bapak), menginstruksikan agar orang tua mengantarkan anak mereka di hari
pertama masuk sekolah.
Tentu kawalan orangtua di hari
pertama sangat berguna. Anak menjadi nyaman dan orang tua/walimurid
berkesempatan membangun relasi dengan dewan guru di sekolah. Tetapi hal itu
tidak banyak membawa hasil manakala warga sekolah tidak gayung bersambut. Apa
banyak efeknya jika hanya mengantar, bersalaman dengan guru baru, setelah
itu pulang/menuju ke tempat kerja, atau menunggu di bangku kantin? Pasalnya, oleh
guru kelas 1, siswa baru langsung dimasukkan kelas. Bleng. Pelajaran pun diawali, selalu, secara indoor. Itupun kadang dengan pintu yang segera dikunci. Karuan saja
ada beberapa siswa yang menangis atau meronta.
Pertinyiinnyi: Mengapa mengawali hari
pertama sekolah selalu dilakukan di dalam kelas? Haruskah begitu, sehingga selalu
diwarnai tangisan bocah? Apa hari pertama siswa harus langsung diberi pelajaran
menulis dan berhitung?
Hingga kini masih banyak guru SD
yang menarik garis demarkasi tegas antara belajar dan bermain. Seolah bermain
itu wilayahnya anak TK, sedangkan belajar wilayahnya siswa SD ke atas. Jadi
kalau sudah SD tidak boleh ada unsur permainan dalam proses belajar. Padahal siswa
yang baru masuk kelas 1 pagi itu, kemarin sore juga masih anak-anak TK.
Untungnya tidak semua sekolah menjalankan hukum “baku” seperti itu. Pada beberapa sekolah dasar saya lihat sudah ada yang berani keluar dari kelaziman lantas dengan kreatif mengemas acara khusus untuk menyambut warga baru, seperti di Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya atau di Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 16 Surabaya.
Mereka membuat kegiatan yang terpusat di halaman sekolah. Siswa baru diajak bergembira bermain dolanan tradisional seperti naik egrang, gobak sodor, dakon, hingga main bola bekel. Ada juga sekolah yang menggelar fun game berkelompok sehingga terjadi interaksi dan saling berkenalan antarsiswa baru. Selain itu ada pula yang praktik membuat dan mewarnai topeng kertas, atau menulis dan menghiasi nama dada. Intinya, sekolah membikin suasana hari pertama menjadi menyenangkan, outdoor, jauh dari kesan formal-konvensional, sehingga tidak menjadi horor bagi siswa penakut.
Untungnya tidak semua sekolah menjalankan hukum “baku” seperti itu. Pada beberapa sekolah dasar saya lihat sudah ada yang berani keluar dari kelaziman lantas dengan kreatif mengemas acara khusus untuk menyambut warga baru, seperti di Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya atau di Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 16 Surabaya.
Mereka membuat kegiatan yang terpusat di halaman sekolah. Siswa baru diajak bergembira bermain dolanan tradisional seperti naik egrang, gobak sodor, dakon, hingga main bola bekel. Ada juga sekolah yang menggelar fun game berkelompok sehingga terjadi interaksi dan saling berkenalan antarsiswa baru. Selain itu ada pula yang praktik membuat dan mewarnai topeng kertas, atau menulis dan menghiasi nama dada. Intinya, sekolah membikin suasana hari pertama menjadi menyenangkan, outdoor, jauh dari kesan formal-konvensional, sehingga tidak menjadi horor bagi siswa penakut.
Di sekolah inovatif SD Maarif
Jogosari Pandaan, Kab. Pasuruan, hari-hari pertama siswa baru kemarin juga
berlangsung seru. Setelah selesai sesi perkenalan sambil bermain game, masing-masing siswa melepas balon ke
udara. Balon itu ganduli kertas bertuliskan impian mereka. Siswa yang belum
bisa menulis dibantu para guru dan orangtua untuk menuliskan cita-citanya.
Hari kedua tambah seru. Pihak
sekolah menyiapkan kolam buatan dari terpal plastik ukuran 7 X 9 meter. Di
dalamnya berisi ratusan ikan nila dan lele kecil. Seratus lebih siswa baru itupun
masuk kolam, berlomba menangkap ikan.
Dengan aktivitas seperti itu,
tidak terlihat ada siswa yang menangis. Memag masih ada satu dua anak yang mbulet
di bokong emaknya. Tapi begitu melihat teman-temannya asyik menangkap ikan, dia
pun lari ikut terjun berbasah-basah di kolam.
Orang tua yang mengantar juga turut
gembira. Di antara mereka malah terlihat aktif terlibat. Ikut-ikutan berburu ikan. Sementara sebagian
walimurid bisa berbincang-bincang ringan
dengan guru yang bakal mengasuh anak-anak mereka. Seperti tahun yang
sudah-sudah, walimurid suka rela hadir kesekolah. Setelah ada imbauan Mas
Menteri, jumlah yang mengantar ke sekolah terlihat semakin banyak.
Mungkin ada sementara pihak yang khawatir, membikin kemasan acara seperti itu hanya akan memboroskan jam belajar efektif sekolah. Padahal sebenarnya tidak, asalkan ditindaklanjuti dengan tahapan pembelajaran yang terencana. Bukankah pada berikutnya guru dapat membuka pelajaran dengan pancingan menarik: “Bagaimana kabarnya ikan tangkapan, yang kalian bawa ke rumah kemarin?”
Tentu siswa akan merespons dengan antusias bahwa ikan mereka ditaruh di akuarium atau di toples. Si Tomi berceloteh bahwa dia dapat ikan tiga tapi mati satu. Tasya tertawa setelah mengaku ikannya digondol kucing dll. Bukankah keberanian mengungkap pendapat adalah praktik ketrampilan berbahasa? Guru juga bisa masuk kepada pertanyaan matematika: Ikan Si Tomi tiga ekor, lalu mati satu ekor. Jadi tinggal berapa ekor?
Mungkin ada sementara pihak yang khawatir, membikin kemasan acara seperti itu hanya akan memboroskan jam belajar efektif sekolah. Padahal sebenarnya tidak, asalkan ditindaklanjuti dengan tahapan pembelajaran yang terencana. Bukankah pada berikutnya guru dapat membuka pelajaran dengan pancingan menarik: “Bagaimana kabarnya ikan tangkapan, yang kalian bawa ke rumah kemarin?”
Tentu siswa akan merespons dengan antusias bahwa ikan mereka ditaruh di akuarium atau di toples. Si Tomi berceloteh bahwa dia dapat ikan tiga tapi mati satu. Tasya tertawa setelah mengaku ikannya digondol kucing dll. Bukankah keberanian mengungkap pendapat adalah praktik ketrampilan berbahasa? Guru juga bisa masuk kepada pertanyaan matematika: Ikan Si Tomi tiga ekor, lalu mati satu ekor. Jadi tinggal berapa ekor?
Walhasil proses pembelajaran berlangsung
smooth dan menyenangkan. Bahkan malah terjadi proses percepatan. Sebab, menurut pakar, pembelajaran yang menyenangkan akan menancap kuat dalam otak anak. Boleh jadi
ini juga merupakan pembelajaran bermakna dan kontekstual, karena bertumpu pada pengalaman
konkret di lingkungan terdekat peserta didik.
Bagaimana rasa hari-hari pertama bersekolah?
Menyenangkan, biasa-biasa saja, bete, atau menegangkan? Jawabnya bergantung kepada
bagaimana kreativitas sekolah mengisi hari istimewa itu.(adrionomatabaru.blogspot.com).
Sampai jumpa di lain tulisan, setiap Senin dan Kamis, di alamat yang sama.
InsyaAllah. Foto: dokumen SD Maarif Jogosari Pandaan.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon