Praktik Kewirausahaan? Duh Malunya….



Minggu pagi, timur GOR Sidoarjo, 10-5-05. Enam wanita usia SMA berkerumun di parkiran. Tiga dari mereka membawa nampan berisi kue lapis, nagasari, pastel, dan kue basah lainnya. Segera bisa ditebak, pasti mereka siswa yang akan praktik  berjualan.

Kentara sekali dari  gerak-gerik khasnya. Tingkahnya kikuk dan ketawa-ketiwi pertanda menyembunyikan “kemaluan”  (maksudku rasa malu) yang besar. Saling dorong agar temannya saja yang tampil di depan. Perlahan mereka beringsut mendekati lapangan terbuka di depannya. Itulah panggung nyata yang bakal dihadapinya: menawarkan kue di antara keramaian orang yang tengah berolahraga. O… maigot!

Tampak dua siswa sudah berani mendekati medan pertempuran. Tapi rupanya teman lainnya tidak kunjung beranjak. Malah kemudian mundur “balik kucing” menuju motor maticnya. Si pemberanipun turut surut kembali ke garis start. Mereka duduk dan berunding lagi,  sebagian iseng memainkan gajetnya. “Bagaimana kalau kita pulang, kita beli sendiri aja kuenya,” kata seorang dari mereka. Entah bergurau entah putus asa. 

Diam-diam saya terus memerhatikan mereka, ingin tahu kejadian selanjutnya. Setelah menunggu sekitar tujuh menit tidak ada perkembangan, sayapun melanjutkan jogging yang baru lima putaran. Saya sudah tidak sabar untuk mendapat  jawaban apakah siswa itu jadi jualan atau tidak.  Tetapi pantauan yang tak utuh itu sudah memberi gambaran memadai bagaimana pendidikan kewirausahaan atau pelajaran praktik marketing dilaksanakan di sekolah-sekolah formal kita.

Terkesan siswa dilepas begitu tanpa persiapan mental yang memadai. “Kalian harus berani jualan. Jangan coba-coba ngakalin dengan menjual ke teman sendiri. Kalian bisa tidak dapat nilai nanti,” begitu kira-kira ucapan guru mata pelajaran wirausaha atau guru di SMK konsentrasi keahlian pemasaran.

Walhasil menjalankan praktik kewirausahaan adalah kegiatan yang sangat menyebalkan. Bahkan boleh jadi  di benak sebagian siswa akan terucap, “Okelah demi mendapat nilai, aku akan melakukan tugas ini. Tapi ingat: ini adalah praktik menjual pertama dan terakhir dalam hidup aku.”

Kondisi ini jelas tidak diinginkan.  Tugas yang  awanya diniatkan agar siswa tumbuh jiwa wirausahanya justru menjadi kontraproduktif. Seharusnya praktik berdagang adalah bagian dari proses pembelajaran yang menarik, sebagaimana praktik belajar bidang yang lain. 

Lihat contohnya di sebelah utara lapangan sepatu roda itu. Anak-anak SMK jurusan keperawatan dengan antusias dan bangga tengah praktik mengukur tensi dan mengambil sampel darah peserta senam asma. Atau anak-anak jurusan tata-boga bergembira menggoreng sosis. Siswa seni rupa bersemangat menggelar pameran lukis bersama. Siswa SMK jurusan seni pertunjukan  tak sabar menunggu hari pementasan. Lalu giliran praktik pemasaran, mengapa siswa jadi malu berat?

Tentu ada yang salah. Mengapa entrepreneurship menjadi bidang yang tidak menarik bagi sebagian besar siswa kita? Tidak banyak anak yang terang-terangan bercita-cita menjadi wira usaha. Impian anak sekarang tidak banyak beranjak dari generasi sebelumnya. Kepingin kerja kantoran jadi PNS, pegawai bank, atau syukur bisa jadi selebritis. Kalau tidak bisa, yang ndak papa jadi outsourcing alfamaret atau buruh pabrik panci. Kalau semua pintu tertutup, ya… sudah wirausaha saja.

Lihatlah, wirausaha menjadi opsi paling buncit setelah setelah semua jalan mentok. Mengapa sampai terbentuk paradigma dan stigma yang runyam seperti itu? Kita tidak perlu mencari siapa yang salah. Saya hanya berfikir lembaga pendidikanlah adalah tempat yang  paling strategis untuk meluruskan kesalahan fikir itu.  Sekolah, khususnya jurusan-jurusan yang berkaitan dangan kewirausahaan, perlu meninjau kembali sistempembelajaran yang dilaksanakan selama ini, termasuk bagaimana cara mengajar guru. 

Tampil di Depan
Pada saat gladi bersih pementasan massal di pendapa kabupaten, para guru tari tampil di depan untuk  memperbaiki gerakan penari dan memberi contoh dengan penuh percaya diri. Guru pembimbing SMK jurusan boardcasting tak kikuk memberi contoh akting di depan kamera, saat siswanya praktik membuat film di keramaian pasar sayur.  Tapi giliran para siswa praktik memasarkan barang dagangan, saya tidak pernah melihat guru pembimbingnya tampil di sekitarnya. Pada ngumpet di mana panjenengan? helo..?

Kegiatan memasarkan bukanlah hal yang memalukan. Tidak ada yang membantah kebenaran kalimat itu. Tetapi untuk menyakinkan bahwa berdagang adalah hal yang menyenangkan tidaklah gampang. Padahal dagang adalah daging. Maksudnya berdagang adalah mata pencaharian yang menjanjikan keuntungan jauh lebih tinggi ketimbang UMR yang diperjuangkan dengan gegap gempita di jalanan.  

Saya khawatir justru guru kewirausahaan itu sendiri yang belum memiliki mental bisnis, bahkan juga malu untuk berjualan beneran. Dia sekadar pengajar yang menyajikan mata pelajaran wira usaha. Dengan demikian motivasi yang disampaikan kepada siswa tidak ngefek sama sekali. Persis seperti guru yang ngotot menyuruh siswanya rajin membaca buku, sementara dia sendiri langsung ngantuk begitu melihat huruf-huruf. Cilakak tenan.

Menurut saya, guru wira usaha seharusnya aktif menemani siswa yang sedang praktik berdagang. Tidak dilepas begitu saja. Siswa didorong cinta dunia bisnis, diberi contoh bagaimana seharusnya trik menjual yang cerdik. Bila perlu dengan cara yang agak atraktif guru menggelar dagangan dan berpromosi dengan memakai megaphone, why not? Lihat guru-guru teater tidak kehilangan kewibawaan meski memeragakan oran gila di depan siswa dan ditonton orang lalu lalang.

Kesalahan berikutnya adalah penyederhanaan persoalan. Kini praktif kewirausahaan sudah direduksi hanya sebatas praktik  berjualan. Mata dagangnyapun itu-itu saja. Gak ada kreasi lainnya, ta? Padahal sungguh banyak mata dagang dan jasa yang dapat ditawarkan ke calon konsumen. Sungguh banyak cara menjajakan produk, tidak sekadar mengangkat nampan berisi kue basah. 

Ada demo marketing, ada jualan dengan cara presentasi, pemasaran dengan memanfaatkan jejaring, hingga dengan cara online. Ada banyak mata dagang yang bisa bikin siswa bangga. Umpamanya siswa SMA diajak membikin robot sederhana lalu menawarkannya ke sekolah lain sambil mengajarkan cara membuatnya. Tentu mereka antusias dan tidak enggan melakukannya. 

Cara lainnya adalah dengan menggelar semacam bazaar atau pesta wira usaha, seperti yang dilakukan beberapa bulan yang lalu oleh mahasiswa ekonomi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan LP3I, di parkir timur GOR. Mereka memajang aneka dagangan hasil kreasi sendiri, demo masak, menyajikan game dan kuis. Suasana bisnis terbangun kondusif.  Calon pembeli terpancing lalu ramai-ramai berdatangan. Dan -ini poinnya-  siswa/mahasiswa yang tengah praktik wirausaha berpacu mengejar omzet, sibuk hilir mudik, tak tebersit sedikitpun rasa malu di wajah mereka.

Pembentukan mental harus dilakukan jauh sebelum siswa terjun ke lapangan. Kita bisa belajar kepada Universitas Ciputra yang sedari awal memang berkomitmen menciptakan entrepreneur andal. Saat praktik lapangan, terlihat sekali para mahasiswanya itu bangga dengan profesi yang akan digeluti nantinya. 

Kini yang perlu dikembangkan bukan hanya entrepreneur tetapi juga creativepreneur, bahkan socialpreneur. Saatnya mengembangkan bisnis berbasis kreativitas. Dulu tidak terpikir ada bisnis menyewakan mainan anak-anak atau menyewakan lukisan untuk di pasang di ruang tamu perusahaan besar. 

Negeri ini sedang butuh banyak orang mandiri yang mampu menciptakan lapangan kerja dan dapat memberdayakan orang-orang di sekitarnya. Wirausaha adalah jawabannya. Demikianlah catatan wedang kopi senin pagi ini. Bagaimana pendapat sampeyan?

Adriono, penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya.
Sumber foto: smkn1-batumandi.sch.id

Previous
Next Post »