Kecerdasan Musikal yang Masih Diduakan



 
SESUNGGUHNYA setiap anak adalah musikal. Mereka dilahirkan dengan kapasitas untuk menyanyi dan mengarang musik.  Coba saja perdengarkan sebuah lagu --lagu jenis apapun-- di dekat anak balita. Spontan dia akan turut menyanyi meski lidahnya masih cedal dalam melafalkan lirik lagu. Bersamaan dengan itu biasanya tangan dan badannya juga ikut bergoyang lucu. 

Jangankan disodori  lagu, diperdengarkan ketukan ritmik saja anak-anak  sudah pada merespon.  Jika ada seorang ibu memukul-mukul karton bungkus susu secara berirama, kontan buah hatinya itu akan tertawa dan menggoyang-goyangkan kepala dan tangannya selaras dengan ketukan yang terdengar. Ini setidaknya indikasi paling sederhana betapa sebenarnya setiap individu memiliki kecerdasan musikal, meski dengan kadar yang berbeda-beda. Kegemaran terhadap irama, nada, dan bunyi-bunyian sudah menempel pada diri anak semenjak kecil.

Hampir setiap anak kecil suka musik. Dia melakukan kapan saja dia suka. Imajinasinya bebas, sapu dibayangkan sebagai gitar, kaleng biskuit dibikin drum, dan botol sampo disulap jadi  mic.  Kecerdasan musikal anak biasanya makin berkembang pesat tatkala mereka memasuki taman kanak-kanak atau playgroup. Wajar saja, di lembaga pendidikan untuk anak usia dini ini mereka selalu diajak bernyanyi dan diperdengarkan musik oleh gurunya. Porsi bernyanyi, bermusik, begitu dominan mengisi hari-hari belajar mereka.

Tetapi sayangnya begitu memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar secara berangsur kondisinya  berubah. Kegiatan bernyanyi dan bermusik berkurang drastis, jam pelajaran seni musik sangat minim. Itupun harus berbagi dengan rekan kesenian lainnya (seni rupa dan seni tari) dalam satu payung mata pelajaran SBK (seni budaya dan ketrampilan). Bahkan pada jenjang yang lebih tinggi, di SMP dan SMA, pelajaran musik semakin kehilangan porsi. Dia “digusur” ke jalur eskul (ekstrakurikuler).

Keadaan ini makin diperburuk dengan metode mengajaran seni musik dan seni suara di sekolah yang tidak tepat. Pengajaran musik di sekolah formal umumnya kelewat mengandalkan aspek pengetahuan (baca:teori), kepada ketrampilan menirukan (imitasi), serta skill motorik belaka.

Pendeknya, mata pelajaran estitika ini diajarkan sebagaimana mengajarkan pelajaran eksakta. Aspek kreativitas tidak banyak diberi ruang, ekpresi unik yang mestinya dimiliki setiap siswa tidak banyak tereksplorasi.  Kebebasan berkarya dan kegembiraan berkesenian perlahan pudar berganti menjadi aktivitas wajib demi memenuhi tuntutan tugas yang berujung kepada angka rapor.

Dampaknya, sebagian besar siswa tiba-tiba menemukan dirinya sebagai pribadi yang tidak punya bakat seni. “Emang aku gak bisa nyanyi,” keluh si Nancy. “Emang dari dulu aku gak bakat musik,” si Boby patah arang. Padahal ketika kecil keduanya gemar menyanyi dan bermusik. Padahal setiap anak sesungguhnya adalah musikal. Herannya, mengapa  tatkala beranjak remaja mereka jadi merasa kehilangan kecerdasan bawaan itu?

Tampaknya hingga saat ini pendidikan formal kita masih memandang sebelah mata terhadap kecerdasan musikal yang ada pada diri siswa.  Tentu ini memrihatinkan sebab  kecerdasan musikal merupakan salah satu  kecerdasan yang juga layak untuk dikembangkan dengan optimal di sekolah.

Sebagaimana kita ketahui, psikolog Howard Gardner yang tekun meneliti proses pembelajaran, dengan lantang telah mengingatkan bahwa kecerdasan manusia bukanlah tunggal melainkan ganda atau majemuk. Dia kembangkan teori baru tentang kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang kemudian menjadi mashur itu.

Menurut profesor asal Harvard Graduate School  of Education itu, terdapat delapan kecerdasan yang menjadi kapasitas manusia. Salah satunya adalah kecerdasan musikal (musical intelligences) yaitu kemampuan untuk menyimpan nada dalam benak seseorang, untuk mengingat irama itu, dan secara emosional terpengaruh oleh musik.

Selain itu ada tujuh kecerdasan lagi yaitu kecerdasan languistik-verbal, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Diingatkan oleh Gardner, kedelapan intelegensi itu berbeda-beda namun sekaligus sederajat. Artinya, tidak ada jenis kecerdasan yang lebih baik atau lebih penting ketimbang kecerdasan yang lain.

Tidak Adil
Sementara praktik di lapangan berkata lain. Lembaga pendidikan formal hingga saat ini masih tidak adil dalam mengembangan berbagai elemen kecerdasan majemuk manusia. Sekolah masih “menganakemaskan” dua kecerdasan saja yaitu dan logis- matematis dan linguistik-verbal.  Oleh karena itu seorang siswa disebut pandai manakala mendapat nilai tinggi pada mata pelajaran matematika, fisika, kimia (dan pelajaran lainnya yang mengutamakan logika), atau pandai dalam pelajaran bahasa (languistik) serta terampil berkata-kata (verbal). Sedang perhatian sekolah kepada enam kemampuan lain masih kurang memadai.

Ketimpangan ini kian mendapat “legitimasi” dari negara. Mata pelajaran yang di-UNAS-kan adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS saja. Artinya, seluruh materi yang diujikan secara nasional adalah deretan mata pelajaran yang hanya berbasis pada kecerdasan languistik-verbal-logis-matematik semata. 

Agaknya kecerdasan musik senasib dengan kecerdasan kinestetik (cerdas dalam berolahraga atau menari) dan kecerdasan visual-spasial (cerdas dalam menggambar dan membayangkan).  Lihatlah, anak-anak yang mengandalkan bakat main musik, sepakbola, maupun melukis  tidak bakalan disebut-sebut sebagai “bintang kelas.”

Apalagi tiga kecerdasan terakhir  (interpersonal, intrapersonal, dan naturalis), semakin tidak mendapat tempat dalam pendidikan formal kita. Padahal setiap intelegensi ini punya potensi besar untuk mengantar anak  mencapai kesuksesan kelak ketika dewasa.

Kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan dalam hal memahami diri atau merenung. Kelak ketika dewasa orang yang memiliki kecerdasan intrapersonal ini dapat sukses menjadi penulis, psikolog, atau terapis yang hebat.

Sementara itu ada juga orang-orang yang lihai merangkul banyak orang. Ia memiliki kemampuan relasi yang bagus sehingga tampil menjadi diplomat ulung, politisi, humas, atau menjadi marketer andal.  Orang-orang seperti ini jelas memiliki satu kecerdasan khusus, yang oleh Gardner disebut kecerdasan interpersonal.  Sedang pada individu-individu yang gemar dengan aktivitas yang berkaitan dengan alam, memiliki kepedulian terhadap alam dan isinya dia disebut memiliki kecerdasan naturalis yang kuat.

Mari kita kembali ke “laptop”, mengulik kecerdasan musikal.  Sebenarnya sekarang sudah mulai ada perubahan persepsi yang lumayan melegakan. Perhatian terhadap pentingnya kecerdasan musikal mulai mendapat perhatian di kalangan pendidik dan mulai ada pengakuan dari walimurid. Boleh jadi ini gara-gara ramainya kontes bakat di televisi, membanjirnya peserta audisi menyanyi, dan maraknya panggung “ idol-idolan” dan sejenisnya. Tayangan-tayangan tersebut  dapat membuka mata bahwa kecerdasan musikal juga layak dikembangkan sebab terbukti dapat melesatkan seseorang menjadi idola dan dapat memberikan kesuksesan finansial.

Sementara itu angin segar juga mulai muncul dari pihak internal pendidikan formal. Kini sudah mulai bermunculan sekolah-sekolah alternatif  yang peduli dengan pengembangan dan optimalisasi kecerdasan majemuk. Di kawasan Tenggilis Surabaya ada sekolah SD hingga SMA yang memang mengklaim diri sebagai sekolah multiple intelligence. Demikian juga di Gresik, Jawa Timur, sudah ada  SMP fullday yang sudah mengaplikasikan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk secara terencana di sekolahnya.

Semoga ke depan semakin banyak sekolah melakukan hal yang sama,  dengan demikian berbagai kecerdasan dan potensi anak didik dapat terungkit keluar menjadi kemampuan yang nyata. Sebab, bukankah  esensi edukasi adalah mengungkit potensi?

Education konon awalnya berasal dari kata “educare” yang bermakna alat pengungkit. Melalui pendidikan yang benar diharapkan akan terungkit aneka kecerdasan dan bakat yang tersembunyi dalam diri setiap anak. Termasuk kecerdasan bermusik mereka.

Apalagi, Prof. Gardner telah memberikan “lampu hijau” bahwa dalam tingkat yang berbeda-beda sesungguhnya semua anak sudah cerdas dalam keseluruhan tipe kecerdasan yang digambarkan oleh teori multiple intelegences tadi. Salam musik. (Adriono)
Artikel ini termuat dalam Majalah Musik Staccato, edisi April 2015
Sumber foto: acehmusician.org

Previous
Next Post »