GEMI



 
BEBERAPA hari yang lalu seorang teman fesbuk, Teguh Tom, menuliskan status tentang nama-nama yang bakal hilang dari peredaran antara lain gemi, tukinem, wagiman dll.  Dia benar. Kini nyaris tak ada lagi orang yang bernama Gemi.  Kalaupun ada --maaf-- itu berarti "stok" lama. 

Gemi dalam bahasa Indonesia berarti hemat atau irit. Nama Gemi memang terdengar udik, kelewat agraris. Kalah keren dengan nama Elly, Ella, Nenny, atau Kelly (padahal Kelly itu artinya hanyut). Agaknya setiap zaman memang punya kesukaan sendiri-sendiri.

Tetapi saya tidak sedang menyoal nama. Yang ingin saya utarakan ialah: kata gemi, sebagai idiom, telah kuno. Tidak harus nama gemi, tapi padanan kata lainnya yang mengacu kepada hal-hal hemat juga tak membanggakan lagi untuk dipasang di nama anak.

Beda dengan kota kata Elok, Ayu, atau Bagus serta Prakosa yang masih saja in hingga kini. Ini merupakan indikasi bahwa bagi para orangtua, hidup hemat bukan obsesi lagi (bukankah nama itu doa?). Mereka tidak bermimpi agar anaknya kelak mampu hidup gemi. Juga tidak minat lagi dengan "dua sahabat" gemi, yaitu nastiti (teliti) dan ngati-ati (hati-hati).

"Ini zaman globalisasi." kata Yu Jah, yang katam semua serial senitron tv, ikut-ikutan berargumentasi.
“Ini zaman kartu kredit, bo…,” kata si ABG Nenny. Nikmati segalanya lebih dahulu, bayar belakangan, nyaman bukan? Anjuran rajinlah menabung tak relevan lagi, sebab inflasi terus meninggi dan kurs rupiah berfluktuasi.  Ada revisi tapi. Bolehlah menabung, asal pakai dollar, dan jangan lupa cari yang gemebyar hadiahnya. Siapa tahu Tuhan kasih bonus sama kita?

“Ini zaman kredit,” tambah Nendra. Tak mampu beli kontan tak masalah, bukankah bank dan toko-toko begitu "bermurah hati"  kepada kita untuk mencicil? (Ibu saya di desa suka memelesetkan mencicil menjadi mengangsur sampai mecicil)

Maka peribahasa beretos kerja tinggi: berakit-rakit ke hulu, bererang-renang ke tepian juga tak cocok lagi. Ngapain harus bersakit-sakit dahulu segala?

Dalam iklim seperti ini  banyak pihak mengimbau untuk kembali untuk hidup . Pejabat dilarang bikin acara yang neko-neko. Tentu itu bagus-bagus saja. Selayaknya didukung penuh. Menggugah kembali manfaat hidup hemat adalah perlu.Tapi masalahnya dalam iklim yang sudah begini konsumtif, bisakah efektif? Jangan-jangan seperti berteriak di gurun pasir, nyaris tanpa gema.

Iklan tak henti-henti mencuci otak sepanjang saat. Maka dalam krisis produk barang mewah tetap saja terserap pasar. Tempat hiburan plesiran tak kenal sepi. Pesta pora berlangsung spektakuler, cahaya mewah kembang api menyiram langit negeri ini.

Saya pikir, daripada mengajak hidup hemat pada rakyat yang dari kemarin-kemarin sudah ketat mengencangkan sabuknya, mending mengajak hidup produktif. Pertimbangannya adalah sepanjang produktivitasnya tinggi tak kelewat masalah bila konsumsinya tinggi. Agar tak terus berlangsung ironi besar-besaran ini: konsumsi tanpa income, konsumsi tanpa kerja.

Dan biasanya bila orang sudah produktif justru cenderung berkurang konsumtifnya.  Mereka lebih memilih membesarkan usahanya ketimbang memboroskan uang untuk prestise atau sejenisnya. Dalam bahasa Robert T. Kiyosaki, pengarang buku masyur Rich Dad Poor Dad itu, kita harus memupuk aset dan bukan leabilitas. Aplikasinya kalaupun membeli rumah lagi itu dalam rangka untuk disewakan atau dijualbelikan investasi, bukan untuk villa yang disambangi cuma sebulan sekali.

Dalam hal-hal begini sebetulnya orang desa dahulu sudah menjalani. Mereka lebih membeli tanah dan emas, sapi (sekelompok harta yang tak bakal menyusut). Tanpa berteori mereka paham bahwa investasi lebih menguntungkan daripada sekadar berhemat dan menabung.

Celakanya, entah kenapa, kini mereka ikut ribut kredit barang-barang elektronik dan membeli barang-barang konsumtif. Memborong perabot, merehab rumah, dan beli pakaian.
Oii... Yu Gemi,  Sampeyan ngumpet di mana? (Adriono)

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan budaya
Sumber foto: lp2es.com         
Previous
Next Post »