Kebenaran Berwajah Naif

 

Dalam peperangan, berpegang kepada kebenaran justru merepotkan. Malah dalam banyak hal, bersikap dan berperilaku benar dapat terlihat begitu naif. Dalam kehidupan nyata, kebenaran kelihatannya juga gampang dipatahkan. Kebenaran yang selalu dipegang teguh oleh Yudistira, Raja Indraprasta, layak dijadikan contoh. 

Berapakali dia dirugikan dan dikerjain oleh Sengkuni, politisi jahat pembela Kurawa, gara-gara Yudistira terlalu menggenggam kebenaran, komitmen pada janji, dan pantang berbohong. Ingat saja kejadian permainan dadu yang penuh rekayasa curang,  hingga tragedi terperangkap di dalam jebakan istana yang sengaja dibakar dari luar itu.  Sekarang tampaknya bakal terulang lagi, ketika tiga hari (H minus 3) menjelang dimaklumatkan perang besar Baratayuda. 

Dalam rapat penentuan etika perang, pihak Kurawa dan Pandawa perlu menyepakati rule of the game  perang. Di antaranya tentang kapan dimulai dan diakhiri pada pertempuran harian, juga tentang setiap prajurit wajib melawan musuh sesuai levelnya. Tidak lupa juga diusik masalah aturan gender. 

Sengkuni sudah mengendus siasat cerdas Pandawa yang disutradarai oleh Basudewa Kresna. Kresna sengaja menyiapkan perempuan yang maju sebagai panglima perang yaitu Srikandi. Kita tahu bahwa wanita ini adalah titisan Dewi Amba, yang bersumpah melepas dendam kesumat kepada Bisma. 

Bisma sendiri juga sudah bersumpah kelak dirinya tidak akan mengangkat senjata bila berhadapan dengan  Srikandi di palagan perang Kurusetra. Bisma paham bahwa titik akhir takdirnya berada di tangan perempuan itu. Padahal di sisi lain Bisma menjadi panglima andalan Kurawa, karena sangat sakti dan mendapat karunia dari dewa: boleh menentukan sendiri hari kematiannya. 

“Setiap orang yang terlibat dalam pertempuran harus memegang etika. Berdasar tradisi bangsa Aria, kaum perempuan dilarang masuk medan laga,” kata Sangkuni, Raja Gandara, mulai menebar jerat logika. Dia paham Yudistira adalah satu-satunya orang yang teguh dalam menggenggam kebenaran, meskipun hal itu bakal merugikan dirinya dan kerajaannya. 

“Wahai Yudistira, orang yang sangat paham makna kebenaran. Bagaimana pendapatmu mengenai hal ini?” desak Sangkuni. 

Seperti sudah dapat diduga, dan sangat dikhawatirkan oleh pihak Pandawa, jawaban Yudistira adalah menganggukkan kepala. “Ya, perempuan tidak boleh masuk ke medan pertempuran,” jawab Yudistira. 

Sebuah jawaban yang membuat semua hadirin terkejut, terutama Srikadi. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa juga terlihat amat kecewa meski mereka tidak mau membantah sabda kakak sulungnya.  Sebaliknya Sangkuni tersenyum merasa d iatas angin. Berdasarkan pengalamannya selama ini, sikap kesatria yang ditunjukkan Pandawa justru membawa keuntungan pihak Kurawa. 

“Hanya tembaga yang berubah warna menjadi hijau dan merah, mengikuti perubahan cuaca. Tetapi emas akan tetap warnanya dalam kondisi apapun. Itulah sebabnya emas mahal harganya. Kebenaran adalah emas,” kata putra pertama Pandu itu. 

O, mengapa membela kebenaran kadang seperti perbuatan bodoh dan merugikan diri sendiri? Di tengah adu intrik penuh muslihat untuk ambisi kemenangan, masih relevankah bicara tentang etika? Apakah dalam agenda  pertempuran sengit, yang akan dipenuhi tertumpahan darah, masih layak bicara tentang etika dan kebenaran? 

Tetapi rupanya Yudistira kukuh memilih jalan kebenaran, apapun kondisinya, betapapun terjal proses yang harus dilalui. Dia meyakini, kebenaran menemukan jalannya sendiri, yang tidak terduga-duga. Ucapan Kresna kiranya dapat menguatkan hati, bahwa perang yang bakal meletus ini adalah perang tentang kebenaran. Itulah sebabnya dinamakan Baratayuda, artinya perang untuk kebenaran. Di tanah yang selalu berwarna merah ini terbuka kesempatan bagi kebenaran untuk menunjukkan jati dirinya. 

Kelak sejarah memang mencatat bahwa perang saudara antara dinasti Kuru ini bakal dimenangkan oleh pihak Pandawa. Dimenangkan oleh kebenaran.  Segenap keangkuhan, kezaliman, dan tipu daya pada akhirnya terbuka kedoknya di sana. “Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti,” begitu bunyi  falsafah Jawa yang menebarkan optimisme. Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar. (*) 

Catatan sehabis nonton Mahabarata di antv tadi malam.

adrionomatabaru.blogspot.com

Ilustrasi: pamanapiq.com

Latest
Previous
Next Post »