Gender Si ‘Gadis Kretek’

 

Dipandangnya lekat-lekat pintu kayu biru terkunci itu. Nyaris saban hari. Dia sangat ingin memasuki lalu suntuk bekerja di situ. Tapi ruang kecil itu terlarang baginya, meski milik orang tua kandungnya sendiri. Rupanya dia tengah terhalang mitos, tersandera gender. 

“Perempuan dilarang memasuki ruang khusus untuk mengolah saus rokok kretek. Gak ilok. Rasa rokok bisa menjadi masam.” Begitu bunyi mitos yang membelenggunya. Padahal perempuan itu sangat ingin melakukannya. Malah dirinya meyakini passion hidupnya ada di situ. 

Dara jelita itu bernama Dasiyah, mandor linting rokok kretek merek Merdeka Djaja, milik ayah kandungnya sendiri, di kota M, Provinsi Jawa Tengah. Gadis yang hidup di era tahun 1960-an itu dibawakan oleh Dian Sastrowardoyo  dalam film Gadis Kretek yang tayang di Netflix. 

“Mimpi saya adalah mencipta kretek terbaik. Tetapi di dunia kretek, perempuan hanya boleh menjadi pelinting saja,” kata Dasiyah. Dia berambisi menjadi peracik saus yang mumpuni. Dia paham benar bahwa kunci rahasia dari kenikmatan kretek sejati terletak pada sausnya.  

Norma adat masih ketat mengikat. Bapaknyapun tak berani menabrak paugeran itu. Meski dia melihat secercah bakat alami anak sulungnya itu. Dasiyah mampu mendeteksi mutu tembakau dengan mengirup aroma daunnya. Dan dengan sembunyi-sembunyi dia telah praktik meracik saus, bereksperimen, dan akhirnya menemukan ramuan dengan taste tersendiri. Ada rasa cengkih, sentuhan aneka rempah, pala, harum mawar, hingga sisa asap dupa. 

Ini sebuah film menarik yang diadaptasi dari novel Ratih Kumala. Mengangkat sisi potensi perempuan beserta rintangan keras yang dihadapi. Ya, betapa banyak potensi perempuan tidak sempat terwujud karena terhambat berbagai sebab. Di antaranya karena budaya patriakat, kungkungan mitos, ketimpangan ekonomi, kultur politik, hingga relasi kuasa yang bias gender. Masih banyak perempuan yang belum mendapatkan keadilan hak dengan kaum pria dalam hal akses, partisipasi, kontrol, dan kemanfaatan pembangunan. 

Untunglah jauh setelah era Dasiyah, bertiup angin segar yang lazim dinamakan gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender (PUG). Bahkan gerakan ini telah menjadi kebijakan formal pemerintah dengan terbitnya Inpres No 9 tahun 2000. Isinya antara lain mewajibkan PUG di dalam pelaksanaan pembangunan nasional. 

Data statistik juga menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Menurut BPS, capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia pada tahun 2022 sudah sebesar 91,63. Ini berarti secara nasional kemerataan pembangunan antara perempuan dan laki-laki sudah membaik. Sedang capaian rata-rata Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) pada tahun 2021 sebesar 76,26. IDG ini digunakan untuk mengukur persamaan peranan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan.

Keterlibatan perempuan di parlemen terus meningkat meski rasio perbandingannya masih njomplang dibanding dengan laki-laki, yaitu 22%:78%. Partisipasi perempuan sebagai tenaga profesional juga meningkat. Sumbangan pendapatan perempuan naik, namun sumbangan pendapatan kerja masih didominasi oleh laki-laki. 

Namun jikalau dibandingkan dengan negara ASEAN, kondisi Indonesia masih berada pada posisi ke 7 dari 10 negara ASEAN dalam hal indeks kesenjangan gender global (GGGI). Indonesia berada di bawah  Filipina, Laos, Singapura, Timor Leste, Thailand, dan Vietnam. 

Tapi kehidupan tidak sama persis dengan itung-itungan ala statistik. Ada banyak variabel yang turut campur tangan mengotak-atik jalur nasib manusia. Cuaca buruk sosial ekonomi, pandemi, hingga disrupsi teknologi turut menumpangi. Biaya pendidikan yang tinggi, ketimpangan akses informasi, hingga dominasi sistem koneksi di dunia kerja maupun karier politik, masih saja mengalahan profesionalitas dan rekrutmen berbasis kompetensi diri. 

Lihatlah, Dasiyah juga mengalaminya. Dia toh berkompromi dengan realitas. Menerima dinikahi Seno yang sebenarnya bukan pilihan hatinya. Memang akhirnya dia berhasil mendapatkan profesi sesuai cita-cita, menjadi peracik saus. Tetapi dia hanya diperankan sebagai semacam “ghost writer”, sebagai peracik belakang layar. Sedang yang diekspos ke publik adalah Eko, seorang laki-laki.

Dengan skill tersebut nyatanya Dasiyah juga tidak memetik keuntungan berlimpah, selain hanya kesejahteraan sekadarnya. Seperti  lazimnya banyak perempuan, dia pun pasrah menerima keadaan demi survival meneruskan kehidupan. 

Apalagi Dasiyah mengalami suasana otran-ontran politik di tahun 1965. Tragedi berdarah itu membuat perusahaan kretek ikut terdampak. Bahkan Idrus Muria (ayah Dasiyah) hilang nyawa gara-gara namanya masuk dalam daftar nama orang tersangkut PKI, dan di rumahnya tertemukan beberapa slop rokok kretek merek “merah”, made in partisan parpol terlarang. Padahal semua itu hanya fitnah yang dibuat rival bisnisnya. 

Sebagai wanita mungkin Dasiyah tak sepenuhnya sukses mewujudkan impian. Tetapi setidaknya dia telah mengikhtiarkannya. Meski kemudian harus tumbang karena kelelahan dan lantaran nikotin yang kian hari kian aktif menggerogoti raganya.  Agaknya, hidup tidak seharum saus kretek yang diciptanya. (Adriono)

Gambar: Netflix

Adegan Dasiyah (Dian Sastro) bersama Soeraja (Ario Bayu) di ruang racik saus dalam film Gadis Kretek (Cigarette Girl).

 

Previous
Next Post »