TARI BARONG, PERSETERUAN ABADI

 

Kebaikan melawan keburukan, siapa yang menang? Dalam khasanah seni pertunjukan lazimnya yang menang adalah kebaikan. Apalagi bila sutradaranya kebelet ingin menasihati penonton. Maka pesan moralnya kudu gamblang meskipun terkesan klise dan normatif. Akan tetapi sendratari Barong dan Tari Keris di Bali, agaknya menyodorkan pendapat dan perenungan yang berbeda.

Pementasan lima babak berdurasi sekitar satu setengah jam yang dimainkan Sanggar Barong Seraya di Desa Singapadu, Kec. Gianyar, pada kemarin siang itu berlangsung memikat. Sebelum pentas dimulai, bangku yang disediakan sudah disesaki oleh ratusan penonton. Mereka adalah rombongan pelajar serta wisatawan umum. Sejumlah turis asing dipersilakan duduk pada deretan bangku paling depan. Setelah pandemi Covid, pertunjukan tersebut dapat dinikmati setiap hari. 

Ini termasuk tarian klasik yang bernilai sakral. Mengisahkan pertempuran antara Barong yang menjadi simbol kebaikan dengan Rangda sebagai simbol keburukan. Wujud Barong berupa gabungan antara singa, harimau, dan lembu. Berbulu putih tebal, di sekeliling wajah dihiasi aneka perhiasan emas dan pecahan cermin. Mirip Barongsai. 

Sedang Rangda dimunculkan dalam sosok makhluk mitologi yang menyeramkan. Perempuan berambut acak-acakan, mata melotot, bertaring, lidah menjulur, nenen molor ke bawah, dan kukunya panjang. Busananya dominan hitam kelam, disertai dengan gerakan ekspresif cenderung kasar. 

“Rambut awut-awutan itu melambangkan pikiran dan perilaku yang seenaknya. Mata melotot adalah pembawa orang pemarah. Lidah menjulur simbol ucapan yang buruk. Sedangkan kuku panjang menggambarkan tindakan-tindakannya selalu merusak dan merugikan,” kata I Komang Subagia, pemandu wisata dari anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia. 

Dalam Tari Barong juga dihadirkan karakter-karakter lainnya seperti Dewa Siwa, Dewi Kunti, Sahadewa/Sadewa (anak Dewi Kunti), kera (sahabat Barong), burung dan babi hutan (penjelmaan Kalika), serta para pengikut Rangda. 

Konon tari topeng ini merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu yang melambangkan pertempuran abadi antara kebaikan (dharma) dan keburukan (adharma). Barong dan Rangda seimbang, tidak bisa saling menjatuhkan. Makna filosofis dalam kehidupan adalah kebaikan dan keburukan selalu berdampingan (Rwa Bhineda) dan saling menyeimbangkan. 

Agaknya ini mirip dengan falsafah Yin-Yang Cina. Bahwa kebaikan dan keburukan selalu ada dan hadir bersama. Bahkan di dalam kebaikan terdapat setitik keburukan, dan di dalam keburukan juga terdapat senoktah kebaikan. Kebaikan dan keburukan tidak berbenturan, melainkan meliuk fleksibel dalam keharmonisan alam. 

Tari Barong mengalir enak ditonton. Gerakannya rancak seirama dengan alunan musik yang dinamis. Permainan mata penari wanita juga mengagumkan. Di sana sini terdapat gerakan dan ucapan lucu yang memancing gelak tawa. Pemain cukup komunikatif, mengajak berdialog dengan penonton membuat pementasan berlangsung longgar dan menghibur. Sayangnya masih muncul sejumlah adegan yang nyerempet-nyerempet hal jorok serta pornoaksi. 

Babak akhir tari Barong Keris dipungkasi dengan atraksi yang cukup mendebarkan, yaitu pertunjukan kekebalan tubuh dari tusukan keris. Dalam lakon tersebut memang dikisahkan bahwa atas kehendak Tuhan, para pengikut Barong dianugerahi kesaktian, tidak mempan terhadap serangan senjata tajam. Atraksi ini segera mengingatkan kita kepada seni debus Banten atau demontrasi dari perguruan silat di beberapa daerah di Jawa. 

“Sebetulnya tujuan Tari Keris bukan untuk unjuk kesaktian. Dalam pementasan, kadang bisa juga terjadi ada penari yang terluka,” kata Bli Komang. Menurutnya, Tari Keris di situ perlambang dari keyakinan diri, katakanlah keimanan. “Artinya, kalau kita sudah memiliki keyakinan, memiliki iman yang kuat, maka cobaan dan serangan apapun yang datang  tidak akan mampu menembus diri kita,” katanya. 

Hem, tari tradisi kita memang tidak sekadar indah di mata, tetapi juga membuka pikiran dan jiwa. 

(adrionomatabaru.blogspot.com)





 

Previous
Next Post »