KUE IKONIK

 


Rengginang. Camilan jadul yang satu ini selalu saja disebut di saat musim Lebaran. Kadang disebut dengan nada minor kadang diucap dengan nada mayor. Ya, rengginang menjadi makanan dicari sekaligus dibully.  Lambang ketertinggalan zaman sekaligus simbol kue ikonik yang tetap menarik. 

Dia hadir di meja  ruang tamu dengan tetap percaya diri berdampingan pendatang baru kurma, nastar, kastengel, dan aneka cake branded. Malah dengan santainya rengginang mengakusisi kaleng raja biscuit Khong Guan sebagai tempat bermukimnya. 

Sejumlah teman sejawat rengginang telah lama absen di jamuan hari raya, seperti jenang ayas, satru, sagon, atau tetel ketan hitam. Hanya beberapa yang masih berupaya mendampingi langkah tegapnya, di antaranya kerupuk rambak, madumangsa, dan opak jepit. Tampaknya masa depan rengginang akan baik-baik saja. Tetap kemremes. 

Dari pengamatan sepintas masih banyak teman-teman seusia saya yang mengukainya. Masih banyak orang-orang muda yang mengaku rengginang mania. Dan yang menggembirakan keponakan atau cucu-cucu yang berlidah milenial ternyata juga masih doyan dengan kriuknya kue berbahan dasar beras ketan ini. Agaknya ini sekadar contoh bahwa tidak semua yang lama bakal sirna. Rengginang adalah kesederhanaan yang abadi. Dia telah menjadi memori kolektif dan menjadi penawar rindu bagi orang kota yang tengah mudik ke kampung halaman. 

Agar tetap sukses melintasi zaman rengginang cerdik melakukan adaptasi di sana-sini.  Maka lahir rengginang aneka rasa, mulai dari rasa udang, bawang, terasi, dan rasa ori. Bentuknya juga ada sentuhan modifikasi, tidak sekadar bulat pilih tetapi ada juga yang berbentuk bola atau tabung dan dibikin warna-warni. Padahal semakin dibentuk aneh-aneh, justru ketan menjadi padat dan ketika digoreng menjadi berkurang kadar renyahnya. 

Tetapi bagi saya yang menarik tetaplah yang gaya jadul, bentuknya bulat pipih dengan warna putih lalu di tengahnya ditempel sejumput ketan warna merah. Tampaknya ada pesan kebangsaan yang ingin disampaikan, sehingga perlu ditaruh sang dwi warna di situ. Sayang rengginang model seperti ini kayaknya sudah tidak ada lagi. 

Konon, kata embahku, nama tengginang itu dulu merupakan kecelakaan istilah.  Nama rengginang telah tertukar nama dengan makanan tape. Sebab berdasar pendekatan kirata basa (akromin), “tape” itu kependekan dari kata “ketan dipepe”. Bukankah proses membuat renggingan diawali dari nasi ketan yang dijemur? 

Sedangkan “rengginang” makna panjangnya adalah “ragine sing menang”.  Bukankah dalam proses membuat tape harus diberi ragi? Manakala terjadi fermentasi ketela pohon pun melunak menjadi tape manis, itulah pertanda kemenangan sang ragi. Maka selayaknya tape itu disebut rengginang, karena raginya yang menang. 

Apa perlu ada konsensus nasional untuk meluruskan salah kaprah yang kadung mengakar ini? Atau kita biarkan saja. Toh banyak hal yang kebolak-kebalik terjadi di masyarakat dan kita enjoy saja. Kita menyebut menanak nasi padahal maksudnya menanak beras. Nggodog wedang padahal faktanya nggodog air. 

Kita juga sudah terbiasa dengan sejumlah paradoks, seperti kerancuan antara iuran dengan sumbangan. Karena kita mengenal istilah sumbangan wajib. Emak-emak biasa ngesain kiri padahal mau belok nganan. Meski di pintu sudah diberi tulisan besar “dorong” toh tetap saja kita “tarik”. Wis podo ae, sing penting mbukak. 

Begitulah kita sangat longgar dengan makna kata. Padahal kecermatan menggunakan kata merupakan password dasar untuk untuk sukses memasuki dunia yang semangkin digital ini. 

Malah sekarang ada gejala orang-orang sengaja menciptakan kerancuan baru, dalam hal silsilah keluarga. Gara-gara enggan disebut tua, maka banyak embah-embah membiasakan  cucunya memanggil mereka dengan sebutan bapak atau ibu. Sedangkan kepada orang tua kandung mereka sendiri mereka  memilih panggilan “mama” dan “papa”.  Sehingga kelak, mana nenek, mana ibu, jadi jumbuh. 

Sudahlah lakoni saja. Percayalah, selama masih berkawan rengginang kita pasti menang. Rengginang telah memberi pelajaran berharga betapa lihainya dia menyiasati gelombang zaman. 

(adrionomatabaru.blogspot.com)

Foto nyomot iNews.

 

 

 

Previous
Next Post »