PILIH LIBUR


Kemarin saya dan Cak Sukemi maksi di warung Mejoyo, kawasan Jalan Raya Rungkut Surabaya. Kami kerap mampir ke sini karena masakannya enak dan harganya terjangkau. Modelnya prasmanan. Ambil nasi sendiri, lantas angkat lauk favorit: ikan bandeng bumbu kuning asam pedas.
 

Setelah itu serkit (geser sedikit) ke etalase kaca, yang fungsinya persis touchscreen superlebar. Begitu telunjuk jari kita menempel di salah satu sisi kaca itu, maka keluarlah makanan sesuai keinginan. Mau bothok udang, bothok tahu jamur, atau pepesan tongkol, silakan saja. 

Tapi kali ini ada yang beda. Terlihat ada selembar kertas pengumuman yang ditempel di kaca touchscreen tersebut. Bunyinya: “Selama bulan Ramadan Warung Mejoyo libur”.  Pengumuman itu ditulis dengan sederhana tetapi sesungguhnya tidaklah sederhana. Setidaknya mengusik hati saya sepanjang makan siang di situ. 

Ya, ini bukan info baru, tetapi selalu saja membuatku terkagum dan salut. Kok ya ada saja pedagang yang memilih meliburkan diri sebulan penuh di saat bulan puasa. Padahal bila ingin menghormati orang puasa, bukankah dia bisa buka menjelang Magrib atau pada saat jam-jam sahur? 

Agaknya Ramadan adalah sebuah momentum. Setiap orang memiliki pandangan sendiri-sendiri terhadap momentum tersebut. Dan itu sah. Banyak pihak menyambut bulan Ramadan bagai datangnya musim panen besar, karena pada saat itulah orang akan aneka belanja kebutuhan untuk Lebaran. Sirup Marjan tak henti beriklan di televisi, toko pakaian pesta diskon, dan bakul kue kering bolak-balik mengunggah produknya ke medsos dan grup WA.   

Toh ada juga pengusaha yang memilih jalan sebaliknya, mengambil jarak di tengah ramainya konsumen dan peluang meraup laba potensial yang besar. Contohnya ya warung Mejoyo di depan PT Kedawung Subur itu tadi. Agaknya dia lebih memilih bertransaksi dengan Tuhan, mungkin dengan cara memperbanyak ibadah atau berniat menjalani puasa tanpa tergesa dan direcoki kesibukan kerja yang tak kunjung ada habis-habisnya. 

Sungguh Gusti Allah maha adil. Tentulah dipenuhi aneka kemauan hambanya. Mereka yang ingin mendapat  penghasilan lebih akan diberi dengan berlimpah. Bagi yang berharap mendapatkan kasihNya Insyaaallah akan memperolehnya. 

Gara-gara secarik pengumuman itu saya jadi termangu dalam perasaan mendua. Ada rasa cemburu. Kapan ya saya bisa meniru seperti itu? Berani “off” sebulan dari aktivitas transaksional lalu ganti melakoni aktivitas yang lebih substansial dan berdimensi sosial? 

Sementara di sisi lain saya juga masih tergoda untuk turut “memonetisasi” momentum Ramadan, seperti layaknya pebisnis musiman yang cerdik dalam memanfaatkan keadaan. Tetapi sampai sekarang ternyata tidak juga bisa mempraktikkannya.

 Keluar dari warung perut saya kenyang, tetapi pikiran saya jadi menerawang.

 adrionomatabaru.blogspot.com

Previous
Next Post »